Sebelum memeluk Islam, Zaid bin San’an ra memiliki hubungan keuangan dengan Rasulullah SAW. Dia telah meminjamkan sejumlah uang kepada Rasulullah, dan ketika waktunya tiba untuk mengembalikan utang tersebut, Zaid pergi menagihnya. Namun, bukannya menagih utang dengan sopan, Zaid memilih untuk menghina Rasulullah dengan panggilan “Hai cucu Abdul Muthalib” dan menyatakan bahwa Rasulullah enggan membayar utangnya.
Tindakan Zaid ini tentu saja mengejutkan dan mengecewakan Rasulullah SAW, namun beliau tidak merespon dengan kemarahan atau balas dendam. Sebaliknya, Rasulullah tetap tenang dan bahkan tersenyum dalam menghadapi situasi tersebut. Ini adalah contoh nyata dari kelembutan dan kesabaran beliau, yang merupakan sifat-sifat yang sangat dihargai dalam ajaran Islam.
Reaksi Umar ra, sahabat Rasulullah yang hadir saat itu, sangat wajar. Dia marah dan melontarkan kata-kata keras kepada Zaid karena merasa bahwa perlakuan kasar terhadap Rasulullah tidak bisa dibiarkan. Umar ra berteriak kepada Zaid dan menyebutnya sebagai “musuh Allah,” mengecam perilakunya yang kasar.
Namun, Rasulullah SAW menghentikan Umar ra dan memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang berbeda. Beliau tidak ingin berkonflik atau membalas perlakuan kasar dengan kasar. Rasulullah menyarankan agar Zaid membayar utangnya dan menambahkan 20 galon sebagai kompensasi atas ketakutan yang telah disebabkan oleh tindakannya. Ini adalah contoh lain dari kemurahan hati dan kebijaksanaan Rasulullah dalam menangani situasi sulit.
Setelah insiden tersebut, Zaid dan Umar ra melanjutkan perjalanan bersama-sama. Namun, di tengah perjalanan, Zaid mengungkapkan perasaannya kepada Umar ra. Dia mengakui bahwa tujuannya sebenarnya adalah untuk menguji kesabaran dan kebaikan Rasulullah. Namun, setelah melihat reaksi Rasulullah yang tenang dan bijaksana, Zaid menyadari bahwa beliau memiliki semua ciri-ciri yang telah dicatat dalam Taurat dan Perjanjian Lama tentang nabi terakhir. Zaid mengakui bahwa kedatangan Rasulullah telah diramalkan dalam Taurat, dan dia bersaksi bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir.
Kisah ini adalah bukti bahwa akhlak mulia, kesabaran, dan kebaikan hati Rasulullah mampu membuka hati orang-orang yang awalnya meragukan atau bahkan menghina beliau. Ini juga menekankan pentingnya tindakan dan perilaku dalam menyebarkan ajaran Islam. Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna dalam menghadapi perlakuan kasar dan tantangan dengan kesabaran dan kemurahan hati, dan kisah ini mengilustrasikan betapa pentingnya nilai-nilai tersebut dalam agama Islam.