TAKWA, sejatinya, adalah sumber dari salah satu sikap mulia yang dikenal sebagai wara’ – sikap berhati-hati untuk menghindari dosa. Terkait dengan konsep wara’, terdapat sebuah kisah menarik yang bercerita tentang Imam Abu Hanifah, semoga Allah merahmatinya.
Kisah ini menceritakan bagaimana Imam Abu Hanifah pernah menahan diri untuk tidak mengonsumsi daging kambing. Keputusan ini diambil setelah beliau mendengar bahwa seekor kambing milik tetangganya telah dicuri.
Imam Abu Hanifah memutuskan untuk tidak memakan daging kambing selama beberapa tahun, mengikuti usia harapan hidup rata-rata kambing, sampai kambing tersebut diperkirakan telah mati. (Syu’aib bin Saad al-Harifis, Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).
Tindakan Imam Abu Hanifah ini mungkin karena khawatir, tanpa disadarinya, daging kambing tersebut akan dijual di pasar atau dikonsumsi oleh masyarakat, dan dengan demikian, ia akan secara tidak sengaja memakan daging kambing hasil curian tersebut.
Ini adalah contoh nyata dari sikap wara’ yang luar biasa yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah. Sikap wara’ tentunya muncul dari rasa takut yang mendalam kepada Allah SWT.
Rasa takut kepada Allah SWT adalah pendorong utama sikap wara’, yang tidak hanya berlaku untuk hal-hal yang haram, tetapi juga terhadap hal-hal yang bersifat syubhat (keraguan). Seperti yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Rajab, semoga Allah merahmatinya:
“Amal yang paling utama adalah senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah, baik dalam kesunyian (kesendirian) maupun dalam keramaian.” (Ibnu Rajab, Fath al-Bari, 6/63).
Kisah Imam Abu Hanifah mengajarkan kepada kita pentingnya memiliki wara’ dalam hidup kita, menjaga diri kita dari hal-hal yang bisa membawa dosa, dan senantiasa merasa takut kepada Allah dalam segala situasi. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan sikap yang lebih mulia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.