Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq RA, Mesjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis masih berada di bawah kendali Romawi. Saat itu, fokus utama Khalifah Abu Bakar RA adalah mengatasi persoalan pemurtadan di wilayah Arab.
Namun, penting untuk diingat bahwa Abu Bakar RA tidak pernah mengabaikan rencana untuk membebaskan Bumi Syam, terutama Baitul Maqdis, sesuai dengan visi yang pernah disuarakan oleh Rasulullah ﷺ menjelang akhir hidupnya.
Pada bulan Rajab tahun ke-12 Hijriah, atau sekitar tahun 633 M, Abu Bakar RA mengambil langkah tegas dengan mengirimkan empat batalyon yang berbeda untuk menaklukkan wilayah Syam.
Batalyon pertama dipimpin oleh Yazid ibn Abi Sufyan, dengan tugas menaklukkan Damaskus. Batalyon kedua dipimpin oleh Syurahbil ibn Hasanah, yang diberikan tugas untuk menyerang Urdun.
Pasukan ketiga, di bawah pimpinan Abu ‘Ubaydah al-Jarrah, bergerak menuju Humush. Sementara pasukan keempat, dipimpin oleh ‘Amr ibn Ash, ditugaskan untuk merebut Palestina.
Namun, upaya awal ini tidak menghasilkan kemajuan yang signifikan karena kekuatan Romawi yang kuat. Menghadapi situasi ini, Abu Bakar RA akhirnya mengubah strategi perang.
Dia memilih Khalid bin Walid, seorang ahli strategi perang yang telah terbukti, untuk memimpin keempat batalyon pasukan Muslim yang menjalankan misi pembebasan Bumi Syam.
Abu Bakar RA dengan tegas menyatakan, “Dengan Khalid, saya akan membuat pasukan Byzantiun melupakan bisikan-bisikan setan.” Keputusan ini diambil sekitar bulan Safar tahun 13 Hijriah, atau sekitar tahun 634 M.
Saat itu, pasukan Romawi berkumpul di Lembah Yarmuk, sebuah daerah yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi di perbatasan antara Suriah dan Palestina. Lembah ini dianggap sebagai medan pertempuran yang strategis.
Abu Bakar memerintahkan Khalid untuk segera bergerak ke Lembah Yarmuk dengan menggabungkan keempat batalyon pasukan Muslim yang telah ada di Syam.
Khalid mengikuti perintah tersebut dan membawa 9.500 prajuritnya dari Irak untuk bergabung dengan pasukan Muslim di Syam. Dia memilih rute melalui jalan yang jarang dilalui, yaitu padang pasir yang tandus dan panas, yang tidak memiliki sumber air selama lima hari perjalanan.
Setelah bergabung dengan pasukan Muslim di Syam, Khalid membagi pasukannya menjadi 36 hingga 40 regu, masing-masing terdiri dari seribu prajurit. Dengan demikian, jumlah total pasukan Muslim diperkirakan mencapai 36 hingga 40 ribu prajurit. Mereka semua bersiap untuk menghadapi pasukan Romawi yang jumlahnya jauh lebih besar.
Di sisi lain, Kaisar Heraklius juga mengumpulkan pasukan dari Konstantinopel, Suriah yang masih dikuasai Romawi, dan Roma untuk menghadapi pasukan Muslim di Yarmuk. Total pasukan Romawi diperkirakan mencapai 240 ribu prajurit.
Kedua pasukan yang tidak seimbang ini akhirnya bertemu di medan pertempuran Yarmuk. Namun, pada saat yang sama, berita kematian Khalifah Abu Bakar RA tiba dari Madinah pada tanggal 26 Agustus 634 M, atau 23 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah.
Penggantinya, Umar bin Khaththab RA, memutuskan untuk mengganti pemimpin pasukan pembebasan Syam dari Khalid bin Walid kepada Abu ‘Ubaydah ibn Jarrah. Khalid dengan taat menerima keputusan tersebut, tetapi pergantian pemimpin baru dilaksanakan setelah Perang Yarmuk selesai.
Pertempuran di Yarmuk berlangsung dengan sengit, dengan pedang-pedang yang terus berseliweran merenggut nyawa. Namun, akhirnya, pasukan Muslim berhasil meraih kemenangan yang gemilang. Keberhasilan ini tidak lepas dari kebijaksanaan Khalid dalam merencanakan strategi perang.
Sejarawan menganggap Pertempuran Yarmuk sebagai momen penting dalam sejarah dunia, karena ini adalah saat pertama pasukan Muslim menaklukkan wilayah di luar jazirah Arab.
Pertempuran ini juga membuka jalan untuk pembebasan Baitul Maqdis dan wilayah Syam yang sebelumnya dikuasai oleh Romawi. Setelah berakhirnya Perang Yarmuk, Khalid menyerahkan kepemimpinan kepada Abu ‘Ubaydah, tetapi tetap berkomitmen untuk melanjutkan misi pembebasan Syam dan Baitul Maqdis.