Sebuah percakapan menarik terjadi di antara saya dan seorang teman. Teman saya baru saja melihat seorang akhwat, seorang aktivis da’wah di kampus kami, sedang berboncengan dengan seorang laki-laki menuju tempat makan di dekat kampus. Dia terus menceritakan kisah ini selama satu jam penuh.
“Apakah mungkin akhwat itu pacaran?” tanya teman saya, dengan nada yang penuh keheranan. “Berboncengan dengan laki-laki seperti itu, siapanya ya?”
Kami berdua tahu bahwa akhwat tersebut adalah sosok yang sholehah dan pintar mengaji, menjadi idaman banyak ikhwan di kampus. Namun, rumor bahwa dia sudah lama menjalin hubungan asmara membuat kami merasa ilfil.
“Orang-orang banyak bicara tentang larangan pacaran dan tentang berinteraksi dengan laki-laki yang bukan muhrim,” lanjut teman saya. “Tapi mengapa dia masih berperilaku seperti ini?”
Saya mencoba memberikan perspektif yang lebih bijak, “Kita tidak boleh terlalu cepat menghakimi. Bagaimana jika laki-laki tersebut adalah saudaranya atau bahkan suaminya? Kita harus berhati-hati agar tidak menuduh tanpa bukti yang kuat.”
Teman saya kemudian mengungkapkan bahwa mereka sering berkomunikasi di Facebook dan bahwa komentar-komentar mereka membuatnya merasa tidak nyaman. Dia merasa perlu mengungkapkan kegelisahannya.
Namun, saya memberikan saran yang berbeda, “Mengapa tidak mencoba berbicara langsung dengan akhwat tersebut? Ingatlah bahwa tujuan kita seharusnya bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memberikan nasihat jika memang dia tersesat. Jika dia memilih untuk bertaubat, itu akan menjadi amal kebaikan bagi kita juga.”
Teman saya diam sejenak, lalu mengangguk setuju.
Saya mengingatkan diri sendiri dan teman saya tentang sebuah ayat yang pernah saya dengar dari seorang ustad di TV, “Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati? Pasti kamu jijik…” (QS. Al-Hujurat: 12).
Ayat ini memberikan perumpamaan tentang orang yang suka menceritakan aib saudaranya. Ghibah, atau menceritakan aib orang lain tanpa alasan darurat, sangat dilarang dalam agama. Menceritakan fakta tentang seseorang pun tetap dianggap sebagai ghibah jika itu hanya dilakukan untuk menyebarkan berita negatif.
Seringkali, orang berargumen bahwa menceritakan fakta bukanlah ghibah. Namun, kita harus ingat betapa sakitnya jika kita mendengar seseorang sedang mengghibahkan kita. Kita bisa merenungkan bagaimana perasaan kita jika kita menjadi objek pembicaraan negatif.
Kerugian dari Ghibah sangat banyak, antara lain:
- Hukumnya maksiat dan berdosa bagi yang suka melakukan Ghibah.
- Memindahkan pahala dari pengghibah kepada yang di Ghibah.
- Memindahkan dosa dari yang di Ghibah kepada si Pengghibah.
- Diberikan vonis oleh Allah sebagai orang yang suka memakan daging manusia yang sudah mati.
- Membuang-buang waktu dan menjadi alat pemborosan.
- Merenggangkan hubungan sosial dan bisa memutuskan silaturahmi.
- Menyebabkan kehidupan pribadi terasa sempit dan isolasi sosial.
- Mengalihkan perhatian dari diri sendiri karena sibuk mencari kesalahan orang lain.
- Sulit berkembang dan berubah karena merasa selalu benar.
- Berpotensi mengarah ke fitnah jika tidak ada kendali dalam perkataan dan tuduhan.
Sebagai umat Muslim, kita harus berusaha menjauhi perilaku Ghibah dan memberikan nasihat dengan penuh kasih sayang jika kita melihat seseorang tersesat. Kita harus mengingatkan diri kita sendiri untuk selalu berbicara dengan etika dan menghormati privasi serta harga diri orang lain. Mari kita hindari perbuatan yang tidak bermanfaat dan menjaga akhlak kita agar selalu baik.