Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman al-Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh hormat padanya.
Tetapi bukan keberanian itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan ketika ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman akan diangkat menjadi amir negeri Madain.
Umar dengan bijaksana telah memilih seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh karena itu, ia tidak ingin mengecewakan pemimpin yang memilihnya, dan yang lebih penting lagi, ia tidak ingin mendapatkan kemurkaan Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.
Maka Salman seringkali berbaur di tengah masyarakat tanpa menampakkan dirinya sebagai seorang amir. Banyak yang tidak menyadari bahwa orang yang keluar masuk pasar, duduk di kedai kopi, dan berbincang dengan para pekerja adalah sang gubernur.
Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kesulitan mengurus barang-barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian yang sudah lusuh. Orang itu segera dipanggilnya, “Hai, kuli, kemari! Tolong bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.”
Tanpa menolak sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkat bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dimaksud.
Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tersebut. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.”
Si pedagang terperanjat sambil bertanya pada orang itu, “Siapa dia? Mengapa seorang kuli seperti dia dipanggil Amir?”
Orang tersebut menjawab, “Tidak tahukah Tuan, bahwa orang itu adalah gubernur kami?”
Dengan tubuh yang melemah dan sambil membungkuk-bungkuk, ia memohon maaf pada ‘kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al-Farisi.
“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh, saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain,” ucap si pedagang. “Biarkanlah saya yang meletakkan barang ini, Tuan. Saya akan mengangkatnya sendiri.”
Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku lakukan, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang dimaksud.”
Setelah sekujur badannya dipenuhi keringat, Salman meletakkan barang bawaannya di kedai itu, lantas berkata, “Pekerjaan ini tidak ada hubungannya dengan jabatan gubernurku. Aku menerima perintahmu untuk mengangkat barang ini dengan rela hati, dan aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”
Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak memahami bagaimana seseorang yang memiliki kedudukan tinggi bersedia bertindak sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang gubernur?
Ia mungkin belum tahu, bahwa itulah sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak sombong dengan kedudukannya, melainkan dituntut untuk merendahkan diri di hadapan rakyatnya. Karena pada hakikatnya, menjadi pemimpin adalah menjadi seorang pelayan. Seperti halnya Salman Al-Farisi, gubernur yang tulus dan rendah hati, yang bahkan menjadi kuli di pasar.