Muadz ra, saat ia berada bersama Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, menghadirkan momen yang penuh makna. Ia punya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, sebuah pertanyaan yang seharusnya mampu meruntuhkan dinding-dinding permasalahan dunia dan akhirat.
Biasanya, ketika manusia mendapat kesempatan bertanya kepada Nabi, mereka akan meminta harta, kedudukan, atau hal-hal duniaawi lainnya. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dengan murah hati memberikan sesuai dengan permintaan mereka. Allah pun telah berfirman, “Kepada masing-masing golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu tidak dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya” (QS : al-Israa’ : 20-21).
Namun, Muadz ra tampil berbeda. Ia datang kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dengan niat yang murni untuk mencari pertanyaan yang akan menguntungkan akhiratnya, bukan untuk kepentingan dunianya. Momen ini adalah momen berharga di mana Muadz ra bisa meminta kekayaan, kedudukan, atau banyak harta. Namun, hatinya hanya menginginkan pertanyaan besar yang berkaitan dengan kepentingan akhiratnya.
Ketika Muadz ra mendekati Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ia memiliki peluang untuk meminta menjadi seorang amir atau mendapatkan kedudukan yang tinggi. Ia juga bisa meminta harta yang banyak. Namun, Muadz ra menolak semua itu, hanya ingin bertanya satu pertanyaan besar yang akan membawa manfaat besar di akhiratnya.
Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam telah menunjukkan kebijaksanaannya dengan membagi-bagikan harta rampasan perang Hunain kepada mereka yang baru masuk Islam. Namun, Abu Bakar, Umar, Muadz, Ubay, Abu Dzar, dan Abu Hurairah tidak meminta bagian dari harta tersebut. Mereka adalah orang-orang yang telah kuat dalam ketauhidan, keimanan, dzikir, dan amal shalih. Mereka tidak memerlukan harta duniawi, karena hati dan jiwa mereka telah mencapai kesempurnaan dalam pencarian nilai-nilai akhirat.
Hakim ibn Hizam, seorang hartawan Makkah, datang kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam dan meminta bagian dari harta rampasan perang. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam memberinya dengan murah hati. Namun, Hakim datang lagi pada hari kedua, dan Rasulullah tetap memberinya. Hal ini terjadi lagi pada hari ketiga dan keempat.
Pada hari keempat, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam memberikan Hakim 100 ekor unta. Namun, Rasulullah juga memberikan nasihat berharga, “Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini manis dan hijau, tetapi tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima.” Hakim, setelah mendengar nasihat tersebut, berjanji untuk tidak meminta lagi kepada manusia setelah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Ia menunjukkan kebijaksanaan dan ketegasan dalam menjalani hidupnya.
Abu Bakar ra dan Umar ra juga mencoba memberikan bantuan kepada Hakim, tetapi Hakim menolak. Ini adalah contoh bagaimana para sahabat Rasulullah memahami pentingnya sikap tawadhu’ dan keikhlasan dalam mencari kebaikan di akhirat.
Momen ini mengajarkan kepada kita semua tentang pentingnya mengutamakan kepentingan akhirat dan kesederhanaan dalam menghadapi harta dan dunia. Bagi mereka yang memiliki kesadaran seperti Muadz ra, Abu Bakar ra, Umar ra, dan Hakim ibn Hizam, dunia adalah tempat sementara yang tidak boleh menghalangi mereka dari mencari kebahagiaan abadi di akhirat.