Terminologi moderasi beragama sudah mulai disosialisasikan kepada masyarakat luas. Dimulai dari para birokrat di Kementerian Agama sampai dengan guru agama di satuan pendidikan. Tak hanya itu, moderasi beragama juga disosialisaikan kepada berbagai elemen masyarakat.
Pencetus gagasan moderasi beragama salah satunya adalah Lukman Hakim Saifuddin Menteri Agama RI pada masa pemerintahan Joko Widodo periode pertama. Dia menulis gagasan tentang moderasi beragama dalam sebuah buku.
Moderasi beragama juga menjadi topik yang dibahas oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir. Dalam pengukuhan guru besarnya, Haedar menyampaikan pidato bertajuk moderasi beragama.
Makna Moderasi Beragama
Moderasi atau moderat artinya tengahan. Namun moderasi sulit dijelaskan tanpa menjelaskan terlebih dahulu konteksnya. ntuk menjelaskan moderat kita mesti menentukan dulu dua titik di sisi kanan dan kirinya.
Misalnya dalam konteks agama samawi, agama Yahudi itu dikenal ketat sekali dalam soal hukum dan kurang dalam soal kasih. Di sisi sebaliknya, agama Kristen sangat longgar dalam soal hukum dan lebih mengutamakan kasih.
Posisi agama Islam ada di tengah-tengah antara Yahudi yang sangat ketat dan Kristen yang sangat longgar. Jadi agama Islam tidak terlalu ketat tapi tidak juga terlalu longgar. Di sinilah moderasi Islam dalam konteks agama samawi.
Dalam konteks pertentangan antara akal dan Wahyu, maka ada dua kubu. Kubu pertama yang terlalu tekstualis dan sama sekali mengabaikan akal. Sebut saja ahlul hadits. Kubu kedua ada yang mendewakan akal dan mengabaikan Wahyu, sebut saja muktazilah.
Di tengah-tengah ahlul hadits dan muktazilah ini, ada kelompok asy’ariyah yang tidak berpegang kepada wahyu, namun tidak meninggalkan akal. Dalam konteks hubungan dengan ahlul hadits dan muktazilah, maka asy’ariyah adalah kelompok moderat.
Dalam konteks hubungan agama dan bernegara, ada dua kutub. Pertama ada yang sekuler murni menyingkirkan agama. Kubu kedua ada yang memformalisasikan satu hukum agama dan menganaktirikan agama lain. Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menyebut kutub yang pertama sebagai Islamophobia dan kutub kedua sebagai NKRI-phobia.
Indonesia tidak memilih keduanya. Tidak sekuler murni namun juga tidak menganakemaskan satu agama tertentu. Melainkan semua agama diakomodir dalam posisi setara. Maka kita bisa katakan bahwa Indonesia mengambil posisi yang moderat dalam soal hubungan negara dan agama.
Menjadi Muslim Yang Moderat
Lantas bagaimana konteks moderasi beragama yang sering disosialisasikan hari ini? Tentukan dulu kutub kanan dan kirinya. Lalu tetapkan posisi tengahnya.
Kutub kirinya adalah pemahaman yang terlalu liberal sehingga mengabaikan sama sekali ajaran agama. Kutub kanannya adalah pemahaman yang terlalu literal terhadap ajaran agama sehingga beragama menjadi sangat kaku dan ketat.
Menjadi moderat adalah ada di tengah-tengah antara pemahaman yang full literal dengan yang full liberal. Menjadi umat beragama yang moderat artinya umat beragama yang pertengahan antara inklusif dan eksklusif.
Jika masih terlalu abstrak untuk dipraktikan, putri Gus Dur Alissa Wahid memberikan dua kriteria konkret dari moderasi beragama. Pertama adalah anti kekerasan, seorang yang moderat tidak boleh menolerir kekerasan apalagi terorisme atas agama. Kedua adalah menerima nasionalisme sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Apa yang dijelaskan oleh Alissa Wahid tersebut sangat pas dalam konteks Indonesia. Dimana jika bangsa ini ingin maju, lepas landas dari negara berkembang, maka kondusifitas masyarakat menjadi salah satu prasyarat untuk itu. Salah satu penunjangnya adalah minimnya tindak kekerasan dan juga integrasi nasional yang kuat.
Salah Paham Terhadap Moderasi Beragama
Sayangnya masih ada sebagian pihak yang curiga dan menganggap ada agenda terselubung dari moderasi beragama. Moderasi agama dianggap bertujuan melemahkan Islam. Moderasi agama dianggap agenda barat untuk meliberalkan Islam.
Tuduhan ini datang salah satunya dari eks Hizbut Tahrir Indonesia yang memang punya mimpi mendirikan kembali khilafah di dunia modern. Sekaligus memformalkan hukum-hukum syariah dalam ruang publik yang beragam.
Tentu saja pro dan kontra dalam pemikiran itu biasa. Yang penting bisa didiskusikan dalam bingkai Akhlakul Karimah. Namun menanggapi tuduhan-tuduhan tidak proporsional terhadap gagasan moderasi beragama, maka kita perlu meyakinkan bahwa moderasi beragama akan membawa maslahat bagi semua.