RUANGSUJUD.COM – Dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir memasukkan sebuah riwayat tentang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz dengan seekor anjing yang melintasinya.
Muhammad bin Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: “Kami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang, maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing(nya), lalu memberikannya kepada anjing tersebut.” Dikatakan: “Orang-orang yang bersamanya mengatakan: “Sesungguhnya anjing itu mahrûm” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 7, h. 419).
Dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Indonesia, kata “mahrûm” diartikan “orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Meski sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada banyak penafsiran dan pemaknaan dari kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama.
Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa. Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian.
Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andaipun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.
Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata “tumbuh”. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran. Pengetahuan kita tentang kebaikan “memberi” dan “berderma” tidak berarti apa-apa, sekedar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita, dan kita, seakan-akan, tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.
Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah al-mahrûm. Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-mahrûm, apalagi manusia. Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?