Warisan Imam An-Nawawi tidak hanya berupa karya tulis yang memenuhi rak-rak perpustakaan Islam, tetapi juga keteladanan hidup yang menginspirasi generasi demi generasi. Ia bukan sekadar ulama besar dalam bidang fiqih dan hadis, melainkan sosok yang memancarkan keikhlasan, kesederhanaan, dan kecintaan mendalam terhadap ilmu. Hingga kini, lebih dari tujuh abad setelah wafatnya pada tahun 676 H (1277 M), pengaruhnya masih terasa kuat di seluruh dunia Islam.
Salah satu warisan intelektual terbesarnya adalah karya-karyanya yang menjadi rujukan utama dalam pendidikan Islam. Kitab Riyadhus Shalihin menjadi panduan moral dan spiritual bagi umat, sementara Syarh Shahih Muslim diakui sebagai penjelasan terbaik atas hadis-hadis Muslim yang penuh hikmah. Di bidang fiqih, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab masih digunakan oleh para peneliti dan mujtahid sebagai sumber hukum dan perbandingan mazhab. Setiap karya Imam An-Nawawi menunjukkan kedalaman analisis, keseimbangan berpikir, dan cinta terhadap kebenaran.
Namun, di balik keluasan ilmunya, adab Imam An-Nawawi adalah warisan yang tak ternilai. Ia dikenal sangat tawadhu, tidak pernah mencari popularitas, dan selalu menjaga lisannya dari kata yang sia-sia. Dalam belajar maupun mengajar, beliau selalu menekankan pentingnya niat yang tulus. Ia sering mengingatkan murid-muridnya bahwa ilmu tanpa adab akan membawa kesesatan, sementara adab tanpa ilmu akan menyebabkan kebodohan. Prinsip ini kemudian menjadi fondasi bagi banyak lembaga pendidikan Islam, termasuk pesantren di Indonesia.
Sikap zuhud Imam An-Nawawi juga menjadi pelajaran berharga. Ia hidup sederhana meski memiliki kedudukan tinggi di dunia keilmuan. Rumahnya kecil, pakaiannya biasa, dan makanannya sederhana. Semua waktunya dihabiskan untuk menulis, membaca, dan beribadah. Bahkan dalam kesehariannya, ia hanya tidur beberapa jam karena sibuk menelaah kitab dan menulis karya ilmiah. Ia pernah berkata bahwa waktu yang digunakan selain untuk ilmu dan ibadah adalah kerugian besar.
Keteladanan moral Imam An-Nawawi tampak jelas dalam keberaniannya menolak ketidakadilan dan kezaliman. Ia menolak kompromi terhadap kebenaran meskipun harus kehilangan kedudukan. Baginya, ulama sejati bukanlah yang dekat dengan istana, melainkan yang berani menasihati penguasa dengan jujur. Sikap ini mengajarkan bahwa kekuatan ulama bukan terletak pada pangkat atau jabatan, melainkan pada keberanian moral yang lahir dari keimanan.
Warisan Imam An-Nawawi terus hidup dalam jiwa umat Islam. Di setiap majelis ilmu, pesantren, dan lembaga pendidikan Islam, nama beliau disebut dengan penuh hormat. Kitab-kitabnya menjadi bahan pelajaran wajib, sementara akhlaknya menjadi teladan bagi para penuntut ilmu. Ia mengajarkan bahwa menjadi ulama bukanlah soal gelar, tetapi soal ketulusan hati dalam mengabdi kepada Allah dan umat-Nya.
Melalui ilmu, adab, dan keteladanan, Imam An-Nawawi telah meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu. Ia menunjukkan bahwa kebesaran sejati bukan berasal dari kekuasaan, tetapi dari keikhlasan. Dan dengan keikhlasan itulah, namanya abadi — menjadi cahaya bagi siapa pun yang menapaki jalan ilmu dan kebenaran.


























