Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, kecintaan terhadap dunia (hubbu dunya) semakin kuat mencengkeram hati manusia. Media sosial, budaya konsumtif, dan standar kesuksesan materialistik membuat banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir: siapa paling kaya, paling terkenal, paling sukses.
Bahaya hubbu dunya kini tidak hanya menyentuh para penguasa atau hartawan, tapi juga masyarakat umum, bahkan anak muda. Dunia modern menyajikan dunia dalam genggaman tangan, tapi sekaligus mengikat hati dengan tali yang tak terlihat. Seseorang bisa merasa gagal hanya karena tidak sepopuler orang lain di media sosial, atau merasa tak berharga karena belum memiliki rumah, mobil, atau gaya hidup yang dipamerkan banyak orang.
Islam memandang dunia sebagai ladang amal, bukan tujuan utama. Ketika dunia menjadi pusat hidup, seseorang bisa kehilangan arah. Ia akan rela melakukan apa saja demi status sosial: berbohong, menipu, bahkan mengorbankan nilai agama. Inilah yang dikhawatirkan Nabi Muhammad SAW—bahwa umatnya akan hancur bukan karena musuh dari luar, tapi karena cinta dunia dan takut mati.
Dalam realitas hari ini, hubbu dunya bisa menjelma dalam bentuk ketergantungan pada validasi eksternal, kerja berlebihan demi ambisi pribadi, atau bahkan kecanduan belanja dan gaya hidup mewah. Semua ini terlihat modern, tapi secara batin membuat manusia lelah dan kosong.
Solusinya adalah kesadaran spiritual. Kembali menata niat hidup, memperbanyak dzikir, mendalami Al-Qur’an, dan mempraktikkan gaya hidup sederhana bisa menjadi tameng terhadap godaan dunia. Bergaul dengan orang-orang saleh dan membatasi konsumsi media sosial juga penting untuk menjaga hati dari racun duniawi.
Mengikat dunia di tangan, bukan di hati—itulah kunci hidup sehat di era modern. Dunia memang tak bisa dihindari, tapi jangan biarkan ia menjadi penjara bagi jiwa. Sebab, hanya dengan hati yang bebas dari cinta dunia, manusia bisa berjalan ringan menuju akhirat.
