Monitorday.com – Dalam dunia ilmu hadis, Imam Ibnu Hibban Al-Busti dikenal bukan hanya karena banyaknya hadis yang ia hafal, tapi karena metodologinya yang luar biasa cermat dan inovatif dalam menyeleksi serta mengelompokkan hadis. Ia berhasil memadukan keilmuan para pendahulunya seperti Imam Bukhari dan Muslim dengan pendekatan analitis yang khas, menjadikannya sebagai ulama yang sangat dihormati di kalangan ahli hadis klasik maupun modern.
Ibnu Hibban lahir di Bustan, Khurasan (Afghanistan modern) sekitar tahun 270 Hijriah (884 M), dan wafat pada 354 Hijriah (965 M). Ia tumbuh di masa ketika dunia Islam sedang mengalami puncak kejayaan keilmuan. Ratusan ulama tersebar di berbagai kota besar seperti Baghdad, Naisabur, dan Makkah — dan Ibnu Hibban menjadi salah satu bintang di antara mereka.
Sejak muda, ia dikenal memiliki daya hafal luar biasa. Ulama sezamannya menyebut bahwa ia menghafal lebih dari 300.000 hadis beserta sanad, perawi, dan penilaian terhadap masing-masingnya. Namun keunggulan sejatinya bukan pada jumlah hafalan, melainkan cara ia memilah mana hadis yang benar-benar otentik dan mana yang bermasalah.
Dalam menyusun kitab Shahih Ibnu Hibban, ia menerapkan metode ilmiah yang ketat dan terukur. Berikut ini bro, beberapa prinsip utama metode Ibnu Hibban 👇
—
1. Seleksi sanad dengan standar ketat
Ibnu Hibban menetapkan bahwa hanya hadis dengan sanad muttaṣil (bersambung), diriwayatkan oleh perawi tsiqah (terpercaya), dan tidak memiliki cacat (illat) yang boleh masuk ke dalam kitabnya. Ia memeriksa setiap mata rantai sanad satu per satu, membandingkannya dengan riwayat lain untuk memastikan konsistensi perawi.
Ia menulis dalam mukadimahnya:
> “Aku tidak memasukkan satu hadis pun kecuali setelah aku periksa seluruh perawinya, dan aku yakin bahwa mereka jujur dalam riwayatnya.”
—
2. Klasifikasi berdasarkan makna, bukan bab fikih
Berbeda dari Imam Bukhari atau Abu Dawud yang menyusun kitab berdasarkan bab hukum, Ibnu Hibban mengelompokkan hadis berdasarkan makna moral dan pesan spiritual. Misalnya, hadis tentang kejujuran, kesabaran, atau keadilan akan ditempatkan dalam kelompok yang sama.
Metode ini menunjukkan visi Ibnu Hibban yang luas — bahwa hadis bukan hanya sumber hukum, tapi juga panduan nilai kehidupan.
—
3. Pembedaan antara hadis sahih dan hasan secara kontekstual
Ibnu Hibban termasuk ulama yang sangat detail dalam membedakan hadis sahih, hasan, dan dhaif. Ia tidak hanya menilai kekuatan sanad, tapi juga meninjau konsistensi makna dan relevansi riwayatnya. Jika sebuah hadis dinilai sahih oleh sanad tapi bermasalah dalam matan (isi), ia tidak ragu menolaknya.
—
4. Analisis perawi dalam dua arah: jarh (kritik) dan ta’dil (pujian)
Ibnu Hibban menulis dua kitab besar sebagai pelengkap metode seleksinya, yaitu:
Kitab At-Tsiqat — mencatat ribuan perawi terpercaya dengan biografi singkat dan daerah asalnya.
Kitab Al-Majruhin — memuat daftar perawi lemah atau bermasalah, lengkap dengan alasan penilaiannya.
Kedua kitab ini menjadi fondasi penting dalam ilmu jarh wa ta’dil yang hingga kini digunakan oleh para peneliti hadis.
—
5. Konsistensi ilmiah dan kejujuran intelektual
Ibnu Hibban tidak menulis untuk mengikuti mazhab atau kepentingan politik tertentu. Ia menulis dengan prinsip objektivitas total. Jika sebuah hadis mendukung mazhab tertentu tapi sanadnya lemah, ia tolak. Sebaliknya, jika hadis itu sahih walau tidak sesuai pandangan pribadinya, ia tetap terima.
—
Selain ketelitian ilmiahnya, Ibnu Hibban juga dikenal karena ketulusan niatnya. Ia menolak popularitas dan tidak pernah menggunakan ilmunya untuk mencari pujian. Ia berkata,
> “Aku menulis kitab ini bukan untuk kebanggaan, tapi agar ilmu Rasulullah ﷺ tidak hilang di tengah umat.”
Metode Ibnu Hibban kemudian banyak diikuti oleh ulama setelahnya. Al-Hakim An-Naisaburi menggunakan pola serupa dalam Al-Mustadrak, sementara Ibnu Hajar Al-Asqalani menjadikan At-Tsiqat dan Al-Majruhin sebagai referensi utama dalam Tahdzib At-Tahdzib.
Bahkan dalam studi hadis modern, para peneliti menilai bahwa metode Ibnu Hibban sangat mendahului zamannya — ia sudah menerapkan analisis tematik dan verifikasi kritis, dua pendekatan yang baru populer di dunia akademik berabad-abad kemudian.
—
Warisan ilmiah Imam Ibnu Hibban mengajarkan bahwa hadis bukan sekadar teks, tapi ilmu yang harus dijaga dengan integritas. Ia memperlihatkan bahwa menjaga sunnah Rasul ﷺ bukan hanya dengan hafalan, tapi juga dengan ketelitian, kejujuran, dan kecerdasan.
Melalui metodologinya, Ibnu Hibban telah menanamkan standar tinggi bagi siapa pun yang ingin menyelami hadis — standar yang masih dijadikan patokan hingga hari ini.


























