Salah satu kisah paling menggetarkan dalam sejarah hidup Imam Malik bin Anas adalah tentang keteguhannya dalam mempertahankan kebenaran, meskipun harus berhadapan langsung dengan penguasa. Ia bukan hanya ulama besar Madinah, tetapi juga simbol keberanian moral — sosok yang tidak pernah menjual ilmunya demi kepentingan duniawi.
Imam Malik hidup pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, ketika politik sering kali mencampuri urusan agama. Di tengah tekanan itu, Imam Malik tetap menjaga integritasnya sebagai ulama. Ia menolak untuk mengeluarkan fatwa atau pendapat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik khalifah. Baginya, kebenaran tidak boleh tunduk pada kekuasaan.
Kisah paling terkenal terjadi ketika khalifah memerintahkan semua rakyat untuk berbaiat kepada penguasa dengan sumpah tertentu yang mengandung unsur paksaan. Banyak ulama mendukung kebijakan itu karena takut dihukum. Namun Imam Malik menolak, karena menurutnya, sumpah yang diambil di bawah tekanan tidak sah menurut syariat.
Penolakan itu membuat penguasa marah. Imam Malik pun ditangkap dan dicambuk di hadapan umum. Dalam beberapa riwayat disebutkan, saking kerasnya pukulan, bahunya terkilir dan bajunya berlumuran darah. Tapi beliau tidak sedikit pun menyesali keputusannya. Ia hanya berkata dengan tenang,
“Aku tidak mengatakan sesuatu kecuali setelah aku yakin bahwa itu benar di sisi Allah.”
Keteguhan luar biasa itu justru membuat rakyat semakin menghormatinya. Orang-orang Madinah datang berduyun-duyun menjenguknya, bahkan banyak di antara mereka yang menangis melihat keadaan Imam Malik. Mereka tahu, ulama besar itu disiksa bukan karena kesalahan, melainkan karena membela kebenaran.
Beberapa waktu kemudian, khalifah menyadari kesalahan besar yang dilakukan aparatnya. Imam Malik dibebaskan dan diminta datang ke istana untuk dimintai maaf. Namun, dengan penuh wibawa, beliau menolak pergi. Ia berkata,
“Ilmu tidak mendatangi manusia, manusialah yang datang kepada ilmu.”
Ucapan itu menjadi kalimat legendaris yang menggambarkan kehormatan ilmu dan ulama sejati. Imam Malik tidak sombong, tapi ia tahu bahwa ilmu harus dijaga dari kehinaan kekuasaan.
Meskipun begitu, Imam Malik bukanlah sosok yang keras kepala. Ia tetap lembut dan penuh hikmah dalam berdakwah. Ketika khalifah mengirim utusan untuk meminta nasihat, beliau menyambut dengan penuh hormat dan memberikan nasihat dengan hikmah yang dalam. Ia berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, jika engkau benar, maka takutlah kepada Allah agar engkau tidak menjadi zalim. Dan jika engkau salah, maka takutlah kepada Allah agar engkau tidak terus dalam kesalahan.”
Keteguhan Imam Malik membuatnya dijuluki oleh para ulama sebagai “Imam yang tidak pernah tunduk kepada dunia.” Ia menjadi teladan bagi generasi ulama setelahnya — termasuk Imam Syafi’i, yang memuji gurunya dengan berkata,
“Jika para ulama disebutkan, maka Malik adalah bintangnya.”
Dari keteguhan Imam Malik, kita belajar bahwa ilmu dan prinsip adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa keberanian hanya akan diam di hadapan kezaliman, dan keberanian tanpa ilmu hanya akan menimbulkan kebingungan.
Imam Malik membuktikan bahwa seorang ulama sejati bukan hanya yang hafal hadis dan fikih, tapi juga yang siap mempertahankan kebenaran meski harus menanggung risiko besar.
Ia wafat di Madinah pada tahun 179 Hijriah (795 M), namun warisannya tentang keberanian, kehormatan, dan integritas akan terus hidup sepanjang zaman.


























