Monitorday.com – Praktik istighfar, atau permohonan ampun kepada Tuhan, merupakan pilar fundamental dalam keyakinan umat Islam. Konsep ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana penebusan dosa, tetapi juga dianggap sebagai kunci untuk meraih keberkahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Mengingat sifat manusia yang tak luput dari kesalahan dan kelalaian, istighfar menjadi mekanisme penting untuk menjaga spiritualitas dan memperbaiki diri. Ajaran Islam secara tegas menggarisbawahi pentingnya istighfar sebagai bentuk kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan manusia di hadapan Sang Pencipta.
Keutamaan istighfar ini ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa perawi terkemuka. “Dari Abdullah bin Bisr RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang menjumpai catatan amalannya istighfar yang banyak.” (Riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i, dan ath-Thabrani).
Selain itu, Al-Qur’an juga menegaskan janji-janji Allah bagi mereka yang memperbanyak istighfar, menghubungkannya dengan keberlimpahan rezeki dan kemudahan hidup. “Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh [71]: 10-12).
Signifikansi istighfar dalam kehidupan seorang muslim juga ditekankan oleh para ulama. Ibnu Taimiyah, salah satu ulama terkemuka, menjelaskan urgensi praktik ini, “Maka seorang hamba butuh kepada istighfar siang dan malam bahkan sangat mendesak (mudhtharr) baginya untuk selalu istighfar pada setiap ucapan dan keadaan, dalam keadaan sendiri atau di depan orang. Sebab dalam istighfar terdapat maslahat dan menghadirkan kebaikan dan mencegah keburukan. Melalui istighfar, seseorang meminta tambahan kekuatan dalam amalan hati, fisik, dan meminta tambahan keyakinan dan keimanan.” (Majmu’ul-Fatawa, 11/696).
Dengan demikian, istighfar bukan sekadar ritual pengampunan dosa setelah berbuat salah, melainkan sebuah kebutuhan berkelanjutan yang menjadi fondasi keshalihan dan jembatan menuju kebahagiaan sejati. Praktik ini mendorong umat Islam untuk senantiasa introspeksi, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam setiap kondisi.


























