RuangSujud.com – Setiap insan pasti pernah merasakan sentuhan ujian dan cobaan dalam hidupnya. Dari sekadar demam yang melanda raga, rasa galau yang mengusik jiwa, hingga duka mendalam akibat bencana alam dahsyat yang menyapu, semua itu adalah ‘musibah’ yang datang silih berganti. Kejadian seperti gempa di NTB, likuifaksi dan tsunami Palu, hingga musibah di Banten dan Lampung adalah pengingat betapa kecilnya diri kita di hadapan kebesaran Ilahi, sekaligus isyarat bahwa kehidupan dunia ini fana dan penuh ujian.
Namun, bagi seorang mukmin yang hatinya tertaut pada Allah SWT, musibah bukanlah akhir segalanya, melainkan sebuah gerbang menuju hikmah yang lebih besar. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjamin bahwa tidaklah sebuah musibah menimpa seorang Muslim – baik berupa rasa sakit, kegundahan, hingga tertusuk duri sekalipun – melainkan menjadi penggugur dosa-dosanya. Ini adalah janji yang menenangkan, mengubah pahitnya ujian menjadi manisnya ampunan, dan menyadarkan kita bahwa Allah senantiasa membersihkan hamba-Nya yang Dia cintai.
Dalam perspektif keimanan, setiap ujian yang datang adalah wujud kasih sayang Allah. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan mengujinya.” Oleh karena itu, bagi jiwa yang beriman, musibah adalah kesempatan untuk kembali mendekat, berserah diri sepenuhnya, dan berprasangka baik kepada Sang Pencipta. Ia adalah panggilan untuk merenungi diri, memperkuat tawakkal, dan menyadari bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan dan peningkatan derajat di sisi-Nya.
Meskipun demikian, ada sebuah ‘musibah’ yang jauh lebih besar dan seringkali terabaikan, sebuah ujian yang dapat meruntuhkan sendi-sendi keimanan dan kebahagiaan sejati. Bukanlah gempa bumi yang mengguncang, atau badai yang menerpa, melainkan keretakan dalam tali persaudaraan sesama Muslim. Ketika hati saling membenci, lidah enggan bertegur sapa, dan hubungan silaturahim terputus, itulah ‘musibah’ terbesar yang patut kita renungkan.
Rasulullah SAW dengan tegas mengingatkan kita akan bahaya memutuskan hubungan baik dengan sesama Muslim. Beliau bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang tidak mengajak berbicara saudaranya melebihi 3 hari.” Ini adalah peringatan keras bahwa menjaga ukhuwah Islamiyah bukan sekadar pilihan, melainkan pilar penting dalam kesempurnaan iman. Indahnya iman terpancar saat kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri sendiri, berbagi kebahagiaan dan meringankan beban mereka.
Maka, marilah kita senantiasa menjaga tali silaturahim dan ukhuwah Islamiyah. Sesungguhnya, ‘musibah’ terbesar bagi seorang Muslim bukanlah bencana alam yang menghancurkan harta benda atau merenggut nyawa, melainkan terkoyaknya persatuan, hilangnya kasih sayang, dan retaknya jalinan persaudaraan di antara kita. Itulah kekalahan sejati yang patut kita hindari dengan sekuat tenaga, demi meraih ridha Allah SWT di dunia dan kebahagiaan abadi di akhirat.


























