RuangSujud.com – Dalam setiap helaan napas kehidupan, kita diikat oleh jalinan kasih sayang dan persaudaraan yang tak terlihat, namun memiliki kekuatan luar biasa: tali silaturahim. Sebuah ikatan suci yang, jika terputus, akan menyeret pelakunya jauh dari naungan rahmat Ilahi, bahkan menjauhkannya dari pintu surga. Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah mengingatkan kita dengan tegas, “Orang yang memutuskan tali silaturahim tidak akan masuk surga.” Sebuah peringatan yang menggugah hati, menempatkan pentingnya hubungan antarmanusia dalam timbangan keimanan kita. Bagaimana mungkin kita mendamba Jannah, sementara salah satu jembatan menuju ke sana telah kita runtuhkan dengan tangan sendiri? Terutama jika jembatan itu adalah hubungan dengan orang tua, pilar utama dalam kehidupan kita.
Kedalaman makna silaturahim terungkap lebih jauh dalam sabda Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan ar-rahim (rahim/kekeluargaan), ia bergantung di Arsy seraya memohon perlindungan dari pemutusan hubungan. Allah pun bertanya, “Relakah kamu bila Aku menyambung orang yang menyambungmu, dan memutus orang yang memutusmu?” Ar-rahim menjawab, “Tentu, Tuhan!” Maka janji Ilahi pun ditegaskan: menyambung siapa yang menyambung tali ini, dan memutus siapa yang berani memutuskannya. Ini adalah pengingat bahwa setiap tindakan kita, baik menyambung atau memutus, memiliki respons langsung dari Dzat Yang Maha Mengasihi, menjadikan silaturahim sebagai cerminan Rahmat-Nya di bumi.
Puncak dari setiap bakti dan silaturahim adalah berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain). Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala begitu sering menyertakan hak orang tua dengan hak-Nya, mengisyaratkan betapa agungnya kedudukan mereka. Surah al-Isra’ ayat 23-24 menyeru kita untuk tidak menyembah selain Allah dan berbuat baik kepada orang tua. Bahkan, dilarang mengucapkan kata “Ah” sekalipun kepada mereka, apalagi membentak. Sebaliknya, kita diperintahkan untuk bertutur kata mulia, merendahkan diri dengan kasih sayang, dan mendoakan mereka, “Tuhan! Sayangilah mereka, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu kecil.” Ini adalah perintah yang menggarisbawahi kelembutan dan penghormatan yang tak terbatas kepada mereka.
Namun, realitas seringkali menyajikan pemandangan yang memilukan. Betapa banyak di antara kita yang mungkin, tanpa sadar atau dengan sengaja, mengabaikan hak-hak orang tua. Ada yang terlena dalam kemewahan dunia, namun melupakan atau merendahkan orang tua di kampung halaman. Ada yang lebih mengasihi pasangannya melebihi ibu kandungnya sendiri, atau seringkali membalas perkataan orang tua dengan nada kasar dan penolakan. Perilaku-perilaku durhaka ini sesungguhnya adalah bentuk kerusakan di muka bumi, dan Al-Qur’an telah memperingatkan bahwa mereka yang berbuat demikian akan dilaknat Allah, pendengaran mereka dibuat tuli, dan penglihatan mereka dibutakan. Ini adalah sebuah cermin yang menuntut kita untuk berkaca, apakah kita termasuk golongan yang meremehkan ikatan paling suci ini?
Semoga kita dapat mengambil pelajaran berharga dari kisah-kisah para shalihin yang telah menorehkan teladan mulia dalam berbakti kepada orang tua. Lihatlah bagaimana Ibnu Sirin begitu berhati-hati, tak mau menyentuh makanan yang disukai ibunya agar sang ibu dapat menikmati sepenuhnya. Atau Imam Ahmad yang dengan tulus melayani ibunya, memasak, menyapu, dan membersihkan rumah, semua demi bakti kepada sang bunda tercinta. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita lama, melainkan lentera penerang bagi hati-hati yang mencari jalan menuju keridaan Allah dan kebahagiaan hakiki. Mereka menunjukkan bahwa kemuliaan sejati terletak pada kerendahan hati dan pengabdian.
Pada akhirnya, durhaka memiliki banyak wajah. Yang paling tampak dan sering kita dengar adalah durhaka kepada kedua orang tua. Namun, ada pula bentuk durhaka yang lebih luas, yaitu durhaka kepada Tuhan itu sendiri, manakala seseorang berpaling dari agama, mengabaikan kepatuhan, dan lebih memilih meniru jalan hidup orang-orang yang jauh dari petunjuk Ilahi. Mereka keliru mengira bahwa kemajuan dan modernitas terletak pada peniruan buta. Padahal, kemajuan hakiki seorang Muslim adalah keunggulan dalam kepribadian, dengan merealisasikan ajaran suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam setiap aspek kehidupannya, membangun pondasi yang kokoh di atas takwa, dan memancarkan cahaya keimanan yang sejati.

























