RuangSujud.com – Dalam perjalanan spiritual seorang hamba, ada sebuah permata berharga yang mampu mengangkat derajatnya di sisi Allah SWT dan memancarkan keindahan akhlak di tengah sesama: yaitu tawadhu’ atau kerendahan hati. Namun, apakah makna sejati dari tawadhu’ itu? Pertanyaan ini rupanya tak hanya menggugah kita hari ini, melainkan telah menjadi topik diskusi mendalam di kalangan para ulama terdahulu, mencari definisi yang paling mendekati kesempurnaan hakikatnya.
Kisah ini membawa kita ke sebuah majelis ilmu yang penuh berkah, di mana para ulama terkemuka berkumpul untuk membahas dan merumuskan pengertian tawadhu’. Masing-masing menyampaikan pandangan dan penafsiran mereka, menghasilkan beragam definisi yang kaya makna. Di tengah hiruk-pikuk diskusi yang penuh semangat itu, duduklah seorang tabi’in agung, Imam Hasan Al Bashri, yang menyimak dengan saksama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Hingga akhirnya, setelah mendengar begitu banyak definisi dan penjelasan, Imam Hasan Al Bashri pun bersuara dengan kebijaksanaan, “Kalian banyak bicara tentang tawadhu’.” Kalimat singkat namun penuh makna ini segera menarik perhatian para ulama yang hadir. Mereka serentak bertanya, penuh harap ingin menyerap mutiara ilmu dari beliau, “Wahai Abu Sa’d, apakah tawadhu’ itu?”
Dan dengan ketenangan seorang alim yang mendalam, Imam Hasan Al Bashri pun memberikan jawaban yang begitu lugas, mencerahkan, dan amat menyentuh jiwa: “Seorang laki-laki keluar dari rumah dan dia tidak bertemu dengan seorang Muslim pun kecuali melihat bahwa Muslim itu lebih baik daripada dirinya.” Sebuah definisi yang sederhana, namun mengandung hikmah yang begitu luas dan mendalam, jauh melampaui batasan kata-kata.
Definisi ini mengajak kita untuk merenung dan mengoreksi diri. Ia bukan sekadar tentang merendahkan diri secara lahiriah, melainkan sebuah sikap batin yang tulus untuk senantiasa berprasangka baik kepada setiap saudara Muslim. Ini adalah latihan jiwa untuk tidak merasa lebih unggul, tidak sombong, dan senantiasa mengakui bahwa mungkin ada kebaikan atau ibadah tersembunyi pada orang lain yang tidak kita ketahui, yang justru lebih dicintai Allah SWT daripada amal kita sendiri.
Semoga kita dapat meneladani ajaran mulia dari Imam Hasan Al Bashri ini. Dengan membiasakan diri melihat kebaikan pada orang lain dan merenungi kekurangan diri, niscaya hati kita akan terbebas dari penyakit ujub dan takabur. Mari kita jadikan tawadhu’ sebagai mahkota akhlak kita, melangkah di dunia dengan rendah hati, penuh cinta dan kasih sayang, demi meraih ridha Ilahi dan menciptakan komunitas Muslim yang saling menghargai dan menginspirasi.


























