RuangSujud.com – Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Sebuah kepastian yang seyogianya menyadarkan kita akan pentingnya persiapan. Bukan hanya bekal amal di akhirat, tetapi juga bagaimana kita meninggalkan jejak kebaikan di dunia, termasuk dalam urusan harta. Di sinilah letak kemuliaan wasiat, sebuah titipan terakhir yang mencerminkan kebijaksanaan dan kepedulian seorang mukmin terhadap keluarga dan kerabatnya, sebagaimana tuntunan ilahi dalam Surat Al-Baqarah ayat 180-182.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kemurahan-Nya telah menurunkan petunjuk yang sempurna mengenai wasiat. Dalam firman-Nya di Surat Al-Baqarah ayat 180, diingatkan bahwa apabila maut hendak menjemput, dan seseorang meninggalkan harta, maka diwajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik. Ayat ini, yang dahulu bersifat wajib sebelum turunnya ayat-ayat warisan, menjadi fondasi bagi kita untuk memahami bahwa mengelola harta bukan sekadar urusan duniawi, melainkan bagian dari ketakwaan kepada Sang Pencipta, memastikan keadilan dan keberkahan berlanjut setelah kepergian kita.
Seiring berjalannya waktu dan kesempurnaan syariat, hukum wasiat ini mengalami penyesuaian. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad ﷺ, “Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang haknya masing-masing maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” Ini menegaskan bahwa wasiat kini tidak lagi berlaku bagi ahli waris yang sudah mendapatkan bagian pasti sesuai hukum waris Islam. Namun, keutamaannya tetap agung bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan, dengan batasan maksimal sepertiga dari harta. Batasan ini adalah cerminan hikmah Allah agar hak para ahli waris tidak terabaikan, dan agar mereka tidak terlantar setelah kepergian pemberi wasiat.
Ketika Al-Qur’an menyebutkan harta sebagai “khairan” (kebaikan), ini mengingatkan kita bahwa harta sesungguhnya adalah sarana untuk berbuat kebaikan, bukan tujuan akhir. Seperti dalam firman-Nya, “Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri.” (QS: Al-Baqarah [2]: 272). Baik itu banyak atau sedikit, harta adalah amanah yang harus dikelola dengan bijak. Maka, wasiat bukan hanya tentang pembagian materi, melainkan juga manifestasi dari rasa syukur, kasih sayang, dan upaya untuk terus menebar manfaat, bahkan saat jasad sudah tak lagi di sisi.
Selanjutnya, Allah juga mengingatkan tentang amanah dalam wasiat. Barangsiapa mengubah wasiat setelah mendengarnya, maka dosanya akan ditanggung olehnya, bukan oleh si pewasiat. Ini adalah peringatan akan pentingnya integritas dan kejujuran. Namun, Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang juga membuka pintu kebaikan. Jika seseorang khawatir bahwa wasiat itu berat sebelah atau keliru, lalu ia berupaya mendamaikan dan memperbaikinya sesuai syariat, maka tidak ada dosa baginya. Ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi maslahat, keadilan, dan perdamaian di antara sesama.
Mari kita renungkan, wasiat bukan sekadar dokumen hukum, melainkan jembatan spiritual yang menghubungkan dunia dengan akhirat. Ia adalah kesempatan terakhir untuk beramal shaleh melalui harta, memastikan kebaikan terus mengalir, dan mencegah perselisihan di antara ahli waris. Dengan berwasiat secara adil dan bijaksana, seorang mukmin tidak hanya menunaikan kewajiban, tetapi juga meninggalkan warisan perdamaian, kasih sayang, dan keteladanan yang tak lekang oleh waktu, semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah menuju ridha-Nya. Wallahu A’lam.

























