Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Ijtihad: Jembatan Wahyu dan Realitas Umat Islam

Ijtihad, mekanisme luhur Islam, menjembatani wahyu dan realitas. Esensial bagi umat hadapi tantangan zaman, menolak kekakuan. Menuntut kompetensi tinggi ulama untuk kemajuan Islam.

RuangSujud.com – Dalam setiap zaman, umat manusia selalu dihadapkan pada dinamika dan kompleksitas kehidupan yang terus berkembang. Islam, sebagai agama yang sempurna dan relevan sepanjang masa, telah menganugerahkan sebuah mekanisme luhur untuk menjawab tantangan-tantangan ini: ijtihad. Ia adalah upaya sungguh-sungguh yang tak kenal lelah, mengerahkan segenap kemampuan akal dan hati, demi memahami dan menerapkan hukum-hukum syariat Ilahi dalam konteks yang senantiasa berubah. 

Ijtihad menjadi jembatan antara kemuliaan wahyu dan realitas dunia, memastikan petunjuk Allah senantiasa hidup dan memandu langkah umat. Untuk itu, memahami esensi dan peran ijtihad adalah kunci untuk menjaga kemurnian dan relevansi ajaran Islam di setiap era.nnPara ulama terdahulu, seperti Imam al-Ghazali dan al-Baidhawi, telah mendefinisikan ijtihad sebagai usaha maksimal untuk menyingkap hukum syariat, baik yang bersifat pasti (qath’i) maupun yang masih spekulatif (zhanni). 

Lingkup kajiannya amat luas, mencakup persoalan fundamental (ushuli) hingga detail terkecil (furu’i), baik yang tersurat dalam teks (naqli) maupun yang memerlukan penalaran mendalam (`aqli). Proses istinbath (pengambilan hukum) ini menuntut kehati-hatian dan objektivitas, dengan merujuk pada Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ (konsensus ulama), serta berbagai kaidah penalaran seperti qiyas (analogi), maslahah (kemaslahatan umum), dan ‘urf (tradisi yang baik). 

Tujuannya mulia: menghasilkan produk hukum yang berkualitas tinggi, membawa kemaslahatan, dan mendorong kebaikan bagi seluruh umat.nnPada masa Rasulullah ﷺ, ijtihad dalam pengertian mencari hukum syariat baru tidak diperlukan, sebab segala petunjuk datang langsung dari wahyu. Namun, setelah wafatnya beliau, seiring meluasnya wilayah Islam dan meningkatnya persoalan umat, ijtihad menjadi keniscayaan yang berkembang pesat di kalangan para sahabat dan generasi setelahnya, hingga mencapai puncaknya pada abad keempat Hijriah. 

Sayangnya, perjalanan ijtihad kemudian sempat mengalami fase surut, ketika upaya ijtihad kerap dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi memadai, yang justru memicu fanatisme dan perpecahan. Kondisi ini kemudian melahirkan gagasan keliru tentang “tertutupnya pintu ijtihad,” yang berdampak pada kemandekan pemikiran, kekakuan (jumud), dan keterjebakan umat dalam taqlid buta, bahkan membuka celah bagi masuknya ideologi-ideologi asing yang mengikis tradisi keilmuan Islam.

Melihat kemunduran ini, para pemikir Muslim terkemuka seperti As-Suyuthi dan As-Syaukani, menyerukan kebangkitan ijtihad, menegaskan bahwa ia adalah kewajiban di setiap zaman. Seruan ini semakin relevan di tengah krisis multidimensi yang melanda umat Islam saat ini, mulai dari tekanan eksternal hingga serangan pemikiran (al-ghazwul fikri) seperti liberalisme dan sekularisme. 

Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa “ijtihad” harus berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat yang kokoh. Sebagai contoh, praktik ‘ijtihad’ yang membolehkan wanita menjadi imam shalat bagi laki-laki adalah bentuk kekeliruan fatal, yang secara terang-terangan bertentangan dengan Al-Qur’an, hadis Nabi, ijma’ ulama dari empat mazhab terkemuka, serta maqashid syariat yang menjaga kemaslahatan dan keadilan bagi perempuan itu sendiri. Ijtihad yang benar tidak akan pernah meruntuhkan pilar-pilar agama, melainkan menguatkannya.

Maka, ijtihad yang sesungguhnya bukanlah upaya untuk menghapus atau memberantas tradisi keilmuan Islam yang telah mapan, apalagi mengadopsi paham-paham yang tidak jelas sumbernya. Sebaliknya, ia adalah kelanjutan dari tugas mulia para ulama terdahulu dalam menjawab problematika kontemporer. Bidang-bidang seperti penyempurnaan sistem ekonomi syariah, islamisasi ilmu pengetahuan, pengembangan sistem masyarakat Islam yang adil, serta penanganan isu-isu etika dalam kedokteran dan teknologi modern, adalah ladang luas bagi ijtihad. Untuk itu, dibutuhkan penguasaan mendalam terhadap Al-Qur’an dan Hadis, serta metodologi yang kokoh seperti Ushul Fiqh, Qawa’id Fiqhiyyah, dan Maqashid Syari’ah, agar nilai-nilai luhur Islam dapat terus dilestarikan dan diwujudkan.

slam, dengan otentisitas syariatnya yang terjaga, adalah paket komprehensif dari Allah SWT yang memandang seluruh urusan duniawi dan ukhrawi sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Ia bukanlah agama yang kaku atau fobia terhadap kemajuan, namun juga tidak memandang kebebasan tanpa batas. Keseimbangan inilah yang memungkinkan Islam untuk senantiasa mampu menjawab segala persoalan umat, kapan pun dan di mana pun. Oleh karena itu, peran aktif para ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki komitmen kuat terhadap syariat sangatlah krusial. Melalui ijtihad yang bertanggung jawab dan visioner, insya Allah kejayaan umat dapat kembali diraih, dan Islam akan terus menjadi rahmat bagi semesta alam. Wallahu a’lam bish-shawab.”

Advertisement. Scroll to continue reading.

 

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...