Monitorday.com – Masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (170–193 H / 786–809 M) bukan hanya dikenal karena kemegahan istananya atau kemakmuran ekonominya, tapi juga karena warisan intelektual yang luar biasa. Di bawah kepemimpinannya, dunia Islam melahirkan apa yang disebut para sejarawan sebagai “Zaman Keemasan Peradaban Islam” — masa di mana ilmu, kebijaksanaan, dan keimanan berpadu membangun peradaban yang menerangi dunia.
Warisan terbesar Harun ar-Rasyid yang paling terkenal adalah berdirinya Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad. Lembaga ini bukan sekadar perpustakaan, tetapi juga pusat penelitian, penerjemahan, dan pendidikan yang menjadi fondasi bagi lahirnya ilmu pengetahuan modern. Di sinilah ide-ide besar dari Timur dan Barat dipertemukan, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh para cendekiawan Muslim.
Di Baitul Hikmah, Harun ar-Rasyid mengumpulkan naskah-naskah dari Yunani, Persia, India, dan Romawi. Karya-karya besar seperti Almagest karya Ptolemaeus, Organon karya Aristoteles, dan Charaka Samhita dari India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah terbaik dipekerjakan dengan gaji tinggi, di antaranya Hunayn bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, dan Yahya bin Masawaih. Mereka tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mengomentari dan memperkaya ilmu tersebut dengan pandangan Islam.
Baitul Hikmah menjadi simbol keterbukaan intelektual Islam. Harun ar-Rasyid tidak membatasi ilmu pada agama semata. Ia memahami bahwa setiap ilmu yang bermanfaat adalah bagian dari hikmah Allah. Dari lembaga ini lahirlah ilmuwan besar yang kelak memengaruhi dunia: Al-Khawarizmi menemukan sistem aljabar dan angka nol; Jabir bin Hayyan mengembangkan kimia eksperimental; dan Al-Fazari membuat astrolab untuk menghitung posisi bintang. Semua ini menjadi cikal bakal ilmu modern.
Selain itu, Harun ar-Rasyid juga memperluas sistem pendidikan publik. Ia mendirikan sekolah-sekolah (madrasah) di berbagai wilayah, membangun perpustakaan besar di masjid, dan menyediakan dana untuk guru dan murid miskin. Ia percaya bahwa ilmu harus bisa diakses semua orang, bukan hanya kalangan bangsawan.
Dalam bidang sosial, warisannya tampak dari kemajuan lembaga kesehatan dan pelayanan publik. Rumah sakit (bimaristan) di Baghdad bukan hanya tempat berobat, tapi juga pusat riset medis. Dokter-dokter di sana mempelajari anatomi, penyakit menular, dan farmasi. Setiap pasien dirawat tanpa biaya, dan setelah sembuh, mereka diberi uang agar bisa kembali bekerja. Sistem rumah sakit seperti ini baru ditiru oleh Eropa beberapa abad kemudian.
Harun ar-Rasyid juga meninggalkan sistem administrasi dan pemerintahan yang modern. Ia memperkenalkan arsip negara yang rapi, laporan keuangan yang transparan, dan sistem pengawasan pejabat. Ia menugaskan qadhi al-qudhat (hakim agung) untuk menegakkan hukum syariat dengan adil di seluruh provinsi. Di bawahnya, hukum Islam berkembang pesat, dan para ulama seperti Imam Abu Yusuf dan Imam Syafi’i berperan besar dalam menyusun sistem fikih pemerintahan yang teratur.
Warisan lain yang tak kalah penting adalah budaya keilmuan dan literasi yang melekat dalam masyarakat. Di Baghdad, pasar-pasar buku (Suq al-Warraqin) tumbuh di setiap sudut kota. Rakyat biasa membaca, menulis, dan mendiskusikan ilmu. Puisi, filsafat, teologi, dan astronomi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat tidak hanya religius, tapi juga cerdas dan kritis.
Yang menarik, Harun ar-Rasyid juga mewariskan tradisi toleransi dan keberagaman intelektual. Ia memberi kebebasan berpikir kepada para ilmuwan, termasuk yang non-Muslim. Selama mereka tidak menentang prinsip tauhid, gagasan apa pun boleh diuji dan dibahas. Di Baitul Hikmah, Muslim dan Nasrani, Arab dan Persia, duduk berdampingan di bawah satu atap, menulis buku demi kemajuan umat manusia.
Semangat inilah yang membuat ilmu pengetahuan Islam berkembang lebih cepat dari dunia mana pun. Dalam waktu kurang dari satu abad setelah masa Harun ar-Rasyid, lahirlah generasi cendekiawan seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni — tokoh-tokoh besar yang menyalakan api pengetahuan di Eropa melalui Andalusia.
Namun, warisan sejati Harun ar-Rasyid bukan hanya pada lembaga atau bangunan, tetapi pada jiwa peradaban yang ia tanamkan: ilmu, adab, dan iman. Ia menunjukkan bahwa kemajuan sejati tidak bertentangan dengan agama. Ilmu bukan ancaman bagi iman, tapi jalan untuk mengenal kebesaran Allah.
Dalam suratnya kepada seorang gubernur di Khurasan, Harun ar-Rasyid pernah menulis:
> “Jangan engkau jadikan rakyatmu buta karena kebodohan, sebab kebodohan adalah awal dari kezaliman. Ajarkan mereka membaca, karena ilmu adalah benteng kekuasaan.”
Kata-kata itu menjadi cermin pemikirannya — seorang pemimpin yang memahami bahwa kekuatan negara terletak bukan pada pedang, tapi pada pena.
Ketika ia wafat, Baghdad tetap berdiri sebagai kota ilmu dan kebijaksanaan. Putra-putranya, Al-Amin dan Al-Ma’mun, melanjutkan tradisi intelektual yang ia tanam, bahkan memperluas Baitul Hikmah menjadi pusat riset terbesar di dunia.
Warisan Harun ar-Rasyid melintasi waktu. Dari Baghdad, cahaya ilmu itu menyebar ke Kordoba, Kairo, dan akhirnya ke Eropa, melahirkan Renaisans yang mengubah wajah dunia. Semua itu bermula dari visi seorang khalifah yang percaya bahwa peradaban Islam sejati dibangun dengan ilmu dan iman, bukan hanya kekuasaan dan harta.
Hingga hari ini, nama Harun ar-Rasyid tetap dikenang bukan sebagai penguasa yang bermegah, tetapi sebagai pembuka jalan bagi kebangkitan akal dan nurani manusia. Ia meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu: sebuah pesan abadi bahwa ilmu dan keadilan adalah dua tiang penopang dunia.


























