Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Kebijakan Politik Abu Ja’far al-Mansur: Membangun Stabilitas dan Kemandirian Negara Islam

Abu Ja’far al-Mansur (136–158 H / 754–775 M) dikenal sebagai khalifah yang paling berjasa dalam membentuk struktur kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ia bukan sekadar penerus revolusi, tetapi arsitek politik sejati yang mengubah kekhalifahan dari sistem transisi menjadi pemerintahan yang stabil, efisien, dan mandiri. Di tangannya, Dinasti Abbasiyah tidak lagi hanya menjadi simbol kemenangan atas Umayyah, tetapi benar-benar tampil sebagai kekuatan besar dunia Islam.

Ketika naik tahta setelah wafatnya saudaranya, Abu al-Abbas as-Saffah, Abu Ja’far mewarisi kekuasaan yang masih rapuh. Banyak wilayah masih dikuasai oleh gubernur-gubernur lama yang belum sepenuhnya loyal, dan pengaruh militer Khurasan di bawah Abu Muslim al-Khurasani masih sangat kuat. Tantangan terbesar bagi Abu Ja’far bukanlah musuh dari luar, tetapi ancaman dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.

Langkah pertamanya adalah menegakkan otoritas pusat. Ia memahami bahwa tanpa kendali kuat dari Baghdad, kekhalifahan akan mudah terpecah seperti di masa akhir Umayyah. Karena itu, ia memperkuat struktur pemerintahan dengan menempatkan keluarga dan pejabat terpercaya di posisi kunci. Ia membentuk lembaga diwan (biro administrasi) yang terorganisir, terdiri dari Diwan al-Kharaj (keuangan), Diwan al-Barid (intelijen dan komunikasi), dan Diwan al-Jund (militer). Setiap lembaga ini memiliki sistem laporan langsung ke khalifah, memastikan setiap kebijakan berjalan sesuai arahan pusat.

Salah satu kebijakan paling pentingnya adalah pengendalian terhadap kekuatan militer Khurasan. Abu Muslim al-Khurasani, tokoh kunci revolusi Abbasiyah, memiliki pasukan besar dan pengaruh yang luas. Walaupun awalnya menjadi sekutu penting, Abu Ja’far menyadari bahwa posisi Abu Muslim yang terlalu kuat dapat mengancam stabilitas kekhalifahan. Dengan diplomasi yang hati-hati, ia mengundang Abu Muslim ke istana dan, setelah mendapatkan legitimasi politik, memerintahkan eksekusinya. Langkah ini kontroversial, tetapi berhasil menghapus dualisme kekuasaan dan memastikan bahwa militer kembali tunduk kepada khalifah.

Selain politik kekuasaan, Abu Ja’far juga terkenal dengan kebijakan ekonomi dan keuangannya yang ketat. Ia menertibkan sistem pajak dan memastikan bahwa semua pemasukan negara masuk ke Baitul Mal. Ia dikenal sangat hemat dan tidak segan menegur pejabat yang hidup mewah. Dalam catatan sejarah, ia bahkan menolak usulan pembangunan istana megah dengan berkata, “Negara ini tidak akan kuat jika rakyatnya lapar sementara pemimpinnya hidup berlebihan.” Sikap hematnya membuat kas negara stabil, memungkinkan kekhalifahan membiayai pembangunan kota, infrastruktur, dan pasukan dengan baik.

Abu Ja’far juga menerapkan kebijakan diplomatik yang realistis dan mandiri. Ia menjaga hubungan damai dengan Kekaisaran Bizantium melalui perjanjian tahunan dan tukar tawanan, tetapi tetap menunjukkan kekuatan Islam di perbatasan. Ia juga memperluas hubungan dagang dengan India, Cina, dan Asia Tengah. Di bawahnya, jalur sutra dan jalur laut dari Teluk Persia kembali ramai, menjadikan Baghdad pusat perdagangan internasional.

Dalam urusan hukum dan agama, Abu Ja’far sangat memperhatikan otoritas ulama. Ia memahami bahwa kekuatan Abbasiyah harus berakar pada legitimasi keagamaan, bukan sekadar politik. Karena itu, ia mendukung para ulama besar seperti Imam Malik bin Anas di Madinah, Imam Abu Hanifah di Kufah, dan banyak ahli fikih lainnya. Meskipun ada perbedaan pandangan politik — bahkan Abu Hanifah sempat dipenjara karena menolak jabatan — Abu Ja’far tetap menghormati ilmu dan menjadikan syariat Islam sebagai pedoman hukum negara.

Untuk memperkuat citra moral pemerintahan, ia juga memerangi korupsi dan nepotisme. Ia mengontrol gaya hidup pejabat, mengawasi jalur birokrasi, dan memberhentikan gubernur yang menyalahgunakan wewenang. Bahkan dalam keluarganya sendiri, ia tidak mentoleransi penyimpangan. Ia sering berkata, “Keadilan akan runtuh jika pemimpin membedakan antara keluarganya dan rakyatnya.”

Abu Ja’far juga memperkenalkan kebijakan sentralisasi pendidikan dan administrasi. Ia mengundang cendekiawan dari berbagai wilayah untuk menetap di Baghdad, membentuk lembaga penerjemahan, dan memperkenalkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara dan ilmu. Langkah ini memperkuat identitas Islam sekaligus mempercepat integrasi antarbangsa di bawah kekuasaan Abbasiyah.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Hasil dari kebijakan-kebijakan ini luar biasa: dalam waktu dua dekade, Abu Ja’far berhasil menjadikan Abbasiyah sebagai negara Islam yang paling stabil dan berwibawa. Rakyat menikmati kemakmuran, perdagangan tumbuh pesat, dan Baghdad menjadi kota yang dikagumi dunia karena keindahan dan keteraturannya.

Namun di balik ketegasannya, Abu Ja’far tetap dikenal sebagai sosok yang bijak dan berwawasan luas. Ia tidak hanya membangun kekuasaan politik, tetapi juga menanamkan etos ilmu dan disiplin dalam pemerintahan. Ia sadar bahwa stabilitas sejati hanya bisa lahir dari kombinasi antara keadilan, ekonomi yang sehat, dan moralitas yang kuat.

Ketika wafat pada tahun 158 H (775 M), Abu Ja’far meninggalkan warisan pemerintahan yang kuat dan sistem administrasi yang akan bertahan berabad-abad. Ia berhasil mengubah revolusi yang penuh darah menjadi negara yang teratur dan mandiri, menjadikan Abbasiyah bukan sekadar dinasti, tetapi pusat peradaban dunia.

Dengan visi, kedisiplinan, dan kecerdasan politiknya, Abu Ja’far al-Mansur layak disebut sebagai pendiri sejati negara Islam modern pertama dalam sejarah. Ia membuktikan bahwa kekuasaan bukan sekadar warisan, tetapi hasil dari manajemen, ilmu, dan keadilan yang ditegakkan dengan tangan kokoh dan hati yang sadar akan tanggung jawab kepada Allah.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...