Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Abu Ja’far al-Mansur: Arsitek Kekhalifahan Abbasiyah dan Pendiri Kota Baghdad

Abu Ja’far al-Mansur adalah sosok yang meneguhkan fondasi Dinasti Abbasiyah dan menjadikannya kekhalifahan terkuat di dunia Islam. Jika Abu al-Abbas as-Saffah dikenang sebagai pendiri politik Abbasiyah, maka Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 136–158 H / 754–775 M) adalah arsitek sejatinya — pemimpin yang menata pemerintahan, menstabilkan kekuasaan, dan mendirikan Baghdad, kota yang kelak menjadi pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia.

Lahir pada tahun 95 H (714 M) di daerah Humaima, Yordania, Abu Ja’far adalah keturunan langsung dari al-Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ. Ia tumbuh dalam suasana keluarga yang religius namun juga politis, karena sejak muda keluarganya sudah terlibat dalam perjuangan menumbangkan Dinasti Umayyah. Setelah revolusi Abbasiyah berhasil, kakaknya, Abu al-Abbas as-Saffah, diangkat menjadi khalifah pertama dan mempercayakan banyak urusan negara kepada Abu Ja’far. Maka ketika as-Saffah wafat pada tahun 136 H, Abu Ja’far naik tahta sebagai khalifah kedua — dan dari sinilah dimulai masa pembangunan besar dalam sejarah Islam.

Langkah pertama yang ia lakukan adalah menata kembali pemerintahan dan menegakkan stabilitas politik. Revolusi yang melahirkan Abbasiyah masih meninggalkan banyak luka dan ketegangan, terutama antara pusat kekuasaan di Irak dan kelompok Khurasan yang dipimpin oleh jenderal berpengaruh, Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far menyadari bahwa kekuasaan yang terlalu besar di tangan Abu Muslim bisa menjadi ancaman bagi negara. Dengan strategi politik yang halus namun tegas, ia menyingkirkan Abu Muslim setelah memastikan tidak ada pemberontakan besar di Khurasan. Langkah ini keras, tetapi berhasil mengakhiri dualisme kekuasaan yang mengancam stabilitas pemerintahan.

Setelah urusan politik dalam negeri terkendali, Abu Ja’far memusatkan perhatiannya pada pembangunan kota baru sebagai ibu kota kekhalifahan. Ia menginginkan kota yang aman dari sisa pengaruh Umayyah, strategis secara geografis, dan menjadi simbol kebangkitan Islam. Setelah meninjau berbagai tempat, ia memilih sebuah wilayah di tepi Sungai Tigris, dekat desa kecil bernama Baghdad. Di tempat itulah ia memulai pembangunan kota megah yang kelak disebut Madinat as-Salam (Kota Perdamaian).

Baghdad dibangun dengan perencanaan arsitektur yang luar biasa. Abu Ja’far sendiri memimpin proses desainnya. Kota ini berbentuk lingkaran sempurna dengan diameter sekitar 2 km, dikelilingi dua lapis tembok besar dan empat gerbang utama yang mengarah ke Basrah, Kufah, Khurasan, dan Syam. Di tengah kota berdiri istana khalifah dan masjid agung, melambangkan bahwa kekuasaan dan agama adalah pusat kehidupan umat Islam. Pembangunan ini memakan waktu empat tahun dan melibatkan ribuan insinyur, arsitek, dan pekerja dari berbagai wilayah.

Ketika selesai dibangun pada tahun 145 H (762 M), Baghdad segera menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam. Dari sini, jaringan ekonomi dan intelektual Islam membentang ke seluruh dunia: dari Andalusia hingga Asia Tengah. Kota ini juga menjadi simbol peradaban baru — kota kosmopolitan di mana para ulama, ilmuwan, dan pedagang dari berbagai bangsa hidup berdampingan dalam semangat ilmu dan kemajuan.

Abu Ja’far al-Mansur dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, visioner, dan sangat hemat terhadap keuangan negara. Ia membangun sistem administrasi yang rapi dan menolak segala bentuk pemborosan. Ia juga memperkuat angkatan bersenjata, memperluas jaringan perdagangan, dan menjaga hubungan diplomatik dengan kekaisaran lain, termasuk Bizantium dan Cina. Di bawah kepemimpinannya, dunia Islam tidak hanya stabil secara politik, tetapi juga makmur secara ekonomi.

Namun, di balik ketegasannya, Abu Ja’far juga dikenal bijak dan berilmu. Ia mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan memperhatikan para ulama. Ia menghormati para ahli fikih besar seperti Imam Malik bin Anas, pengarang Al-Muwaththa’, dan menjadikannya salah satu penasihat moral istana. Ia juga memulai tradisi penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, yang kelak berkembang pesat di masa Harun ar-Rasyid dan al-Ma’mun.

Abu Ja’far wafat pada tahun 158 H (775 M) dalam perjalanan haji ke Makkah. Ia meninggalkan kekhalifahan yang stabil, kaya, dan disegani. Sejarawan Muslim seperti al-Tabari dan Ibn Katsir menyebutnya sebagai pemimpin yang tegas namun adil, sederhana dalam hidupnya, dan sangat menjaga keuangan umat. Ia berhasil mengubah Dinasti Abbasiyah dari sekadar kerajaan baru menjadi peradaban besar yang berdiri di atas ilmu, keteraturan, dan spiritualitas.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Warisan Abu Ja’far al-Mansur adalah Baghdad, kota yang selama berabad-abad menjadi jantung dunia Islam dan pusat ilmu pengetahuan dunia. Dari fondasi yang ia bangun, lahirlah generasi emas umat Islam — para ilmuwan, filosof, dan pemikir besar yang mengubah arah sejarah manusia.

Dengan ketegasan politik dan kecerdasan visinya, Abu Ja’far al-Mansur membuktikan bahwa kekuasaan sejati bukan hanya tentang memperluas wilayah, tetapi tentang membangun peradaban yang bertahan melampaui zaman. Ia adalah khalifah yang mengubah revolusi menjadi peradaban, dan darah menjadi pena — simbol kebangkitan Islam menuju puncak kejayaannya.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...