Monitorday.com – Wasiat terakhir Sulaiman bin Abdul Malik menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam peradaban Islam. Dalam masa kepemimpinannya yang hanya berlangsung sekitar tiga tahun (96–99 H / 715–717 M), Sulaiman meninggalkan warisan moral yang jauh lebih besar daripada sekadar kekuasaan. Ia menunjukkan kepada dunia bahwa seorang khalifah sejati tidak hanya ditandai oleh kemenangan dan kemegahan, tetapi juga oleh kebesaran jiwa untuk melepaskan kekuasaan demi kebaikan umat.
Menjelang akhir hayatnya, Sulaiman jatuh sakit parah di sebuah tempat bernama Dabiq, di dekat Aleppo, Suriah. Saat itu pasukan Islam tengah mengepung Konstantinopel, dan para penasihat istana mendesak agar ia segera menunjuk penerus. Kebanyakan dari mereka menyarankan agar kekuasaan diberikan kepada salah satu putranya. Namun, Sulaiman menolak dengan tegas. Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan urusan umat Muhammad ﷺ kepada orang yang tidak mampu memimpin dengan adil dan bertakwa.”
Setelah bermunajat dan bermusyawarah, ia menulis sebuah wasiat rahasia yang kemudian menjadi salah satu keputusan paling bijak dalam sejarah Dinasti Umayyah. Dalam wasiat itu, Sulaiman menunjuk sepupunya, Umar bin Abdul Aziz, sebagai khalifah berikutnya — sosok yang dikenal saleh, berilmu, dan penuh integritas.
Keputusan itu mengejutkan banyak pihak. Umar bukan bagian dari garis langsung keluarga kerajaan, dan ia dikenal sangat zuhud terhadap dunia. Namun Sulaiman justru melihat kelebihan itu sebagai kekuatan. Ia memahami bahwa setelah masa kejayaan dan ekspansi besar, dunia Islam membutuhkan pemimpin yang mampu menata hati umat, memperbaiki moral, dan mengembalikan ruh keislaman yang murni.
Diriwayatkan bahwa Sulaiman memanggil keluarganya dan pejabat tinggi, lalu membacakan wasiatnya di hadapan mereka. Ia berkata dengan suara lemah namun tegas, “Aku telah memilih Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah setelahku. Ia bukan karena darah keturunan, tetapi karena keadilannya. Jika kalian taat kepadanya, kalian akan beruntung; jika kalian menentangnya, kalian akan binasa.” Setelah itu, ia meminta agar surat wasiat itu disegel dan dibawa kepada Umar bin Abdul Aziz segera setelah ia wafat.
Ketika Umar menerima kabar penunjukannya, ia menangis tersedu-sedu. Ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… demi Allah, aku tidak menginginkan ini. Aku tidak memintanya, dan aku tidak menganggap diriku pantas menerimanya.” Namun karena menyadari bahwa amanah ini adalah ketentuan Allah, Umar pun menerimanya — dan sejak saat itu, sejarah Islam menyaksikan munculnya salah satu pemimpin paling adil sepanjang masa.
Keputusan Sulaiman ini bukan keputusan politik biasa. Ia adalah bentuk kebesaran spiritual seorang pemimpin yang menempatkan kepentingan umat di atas ambisi keluarga dan kekuasaan pribadi. Ia tahu bahwa Dinasti Umayyah, setelah puluhan tahun kejayaan dan kemewahan, membutuhkan sosok pembaru yang mampu menyeimbangkan dunia dan akhirat. Dan pilihan itu terbukti benar: Umar bin Abdul Aziz kemudian dikenal sebagai “Khalifah Kelima” setelah Khulafaur Rasyidin, karena keadilannya yang legendaris dan pemerintahannya yang penuh berkah.
Wasiat ini juga menjadi pelajaran penting dalam sejarah politik Islam bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang tahu kapan harus mundur dan kepada siapa harus menyerahkan tongkat estafet. Sulaiman tidak mencari nama besar, tetapi meninggalkan jejak keabadian dalam bentuk keputusan yang membawa kemaslahatan bagi jutaan umat.
Setelah menulis wasiatnya, Sulaiman memanggil keluarganya dan berkata, “Wahai keluargaku, aku telah memilih bagi kalian pemimpin yang akan memimpin dengan keadilan. Jangan kalian ganggu dia dengan ambisi dunia, karena dengan dia Allah akan memperbaiki umat ini.” Beberapa hari kemudian, ia mengembuskan napas terakhirnya di Dabiq dalam usia sekitar 43 tahun.
Sejarawan seperti Ibnu Katsir dan At-Tabari menyebut keputusan itu sebagai “pintu kebaikan besar bagi umat Islam.” Berkat satu keputusan Sulaiman, umat kembali merasakan pemerintahan yang bersih, adil, dan penuh kasih melalui Umar bin Abdul Aziz.
Wasiat agung ini menjadi simbol pengorbanan politik tertinggi dalam sejarah Islam. Sulaiman bin Abdul Malik membuktikan bahwa keagungan seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa lama ia berkuasa, tetapi dari seberapa besar ia mampu mendahulukan kebenaran di atas kepentingan diri dan keluarga.
Ia wafat sebagai khalifah yang meninggalkan dunia dengan hati bersih dan nama harum. Dan karena kebijaksanaannya itu, sejarah menempatkannya sebagai pemimpin yang menjadi penghubung antara kejayaan dunia dan kebangkitan moral Islam. Melalui satu wasiat agung, Sulaiman bin Abdul Malik mengabadikan dirinya bukan hanya dalam sejarah kekuasaan, tetapi dalam sejarah kebaikan umat manusia.


























