Monitorday.com – Sulaiman bin Abdul Malik dikenal sebagai salah satu khalifah Bani Umayyah yang memimpin dengan hati. Ia bukan penguasa yang haus kekuasaan atau gemar kemewahan, melainkan pemimpin yang menempatkan kasih sayang dan keadilan sebagai pondasi pemerintahannya. Di masa pemerintahannya yang relatif singkat (96–99 H / 715–717 M), Sulaiman berhasil menunjukkan bahwa kekuasaan sejati bukan diukur dari luasnya wilayah atau besarnya harta, melainkan dari sejauh mana pemimpin mampu menebar keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sulaiman tumbuh dalam lingkungan istana yang penuh kemegahan, namun ketika menjadi khalifah, ia memilih jalan yang lebih sederhana dan manusiawi. Salah satu kebijakan utamanya adalah mengembalikan keseimbangan sosial setelah masa pembangunan besar di era kakaknya, Al-Walid bin Abdul Malik. Ia menurunkan beban pajak bagi petani dan pedagang kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi negara. Ia juga membebaskan banyak rakyat dari utang yang mencekik, dengan alasan bahwa negara harus hadir untuk menolong, bukan menindas.
Kedermawanan Sulaiman dikenal luas di seluruh kekhalifahan. Ia memperbanyak pemberian tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim, dan para janda. Ia bahkan membangun dapur umum di Damaskus yang membagikan makanan gratis setiap hari bagi siapa pun yang membutuhkan. Dalam salah satu pidatonya, ia berkata, “Kekayaan negara adalah amanah Allah di tanganku, dan hak rakyat harus lebih dulu aku tunaikan sebelum aku menikmati sedikit pun darinya.”
Keadilan menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakannya. Ia menolak segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan tidak segan menegur para pejabat tinggi jika mereka melanggar aturan. Ia menulis surat kepada gubernur Irak yang terkenal keras, dan berkata, “Janganlah engkau berbuat zalim kepada rakyat, sebab kezalimanan adalah sebab keruntuhan para pemimpin sebelum kita.” Ucapan itu menunjukkan ketegasan moralnya bahwa keadilan adalah syarat mutlak bagi keberlangsungan pemerintahan Islam.
Selain adil dan dermawan, Sulaiman juga sangat memperhatikan kesejahteraan spiritual rakyatnya. Ia mendorong ulama dan qari untuk mengajarkan Al-Qur’an di seluruh wilayah kekhalifahan. Ia juga memerintahkan agar setiap kota memiliki masjid yang berfungsi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat ilmu dan musyawarah masyarakat. Kebijakannya ini membuat kehidupan keagamaan di dunia Islam semakin hidup, dengan masjid-masjid yang ramai oleh kajian dan dzikir.
Sulaiman tidak hanya berpihak pada rakyat kecil, tetapi juga menegakkan integritas di dalam keluarga istana. Ia melarang keluarganya mengambil harta negara tanpa hak, bahkan memerintahkan agar mereka hidup sederhana. Ketika ada anggota keluarganya yang meminta tanah hibah, Sulaiman menjawab, “Aku lebih takut menghadapi murka Allah daripada kehilangan kerabat karena tidak memberinya dunia.” Sikap ini membuat rakyat menghormatinya sebagai pemimpin yang bersih dan jujur.
Dalam kebijakan luar negeri, meski ia tetap meneruskan ekspedisi militer ke wilayah Bizantium, ia selalu mengingatkan jenderalnya untuk memperlakukan tawanan perang dengan kasih sayang. Ia bahkan pernah memerintahkan pembebasan ratusan tawanan tanpa tebusan sebagai bentuk penghormatan terhadap perjanjian damai. Bagi Sulaiman, kemenangan sejati bukan hanya menguasai wilayah, tetapi juga memenangkan hati manusia.
Kepemimpinannya yang singkat justru menjadi contoh bagaimana pemerintahan Islam dapat berjalan dengan damai, makmur, dan penuh kasih. Ia menyeimbangkan warisan kemegahan masa Al-Walid dengan kelembutan dan keadilan yang langka. Tidak mengherankan jika para sejarawan menyebut masa Sulaiman sebagai “masa teduh setelah gemuruh kejayaan.”
Sulaiman wafat pada tahun 99 H (717 M), namun jejak kepemimpinannya tetap dikenang sebagai simbol kebajikan dan kasih dalam politik Islam. Ia membuktikan bahwa keadilan bisa berjalan berdampingan dengan kekuasaan, dan bahwa kasih kepada rakyat adalah bentuk tertinggi dari ibadah seorang pemimpin.


























