Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Peran Abdul Malik bin Marwan dalam Menyatukan Dunia Islam di Tengah Kekacauan Politik

Ketika Abdul Malik bin Marwan naik tahta sebagai khalifah Bani Umayyah pada tahun 65 H (685 M), dunia Islam sedang berada dalam masa paling genting sejak wafatnya Rasulullah ﷺ. Kekhalifahan terpecah karena perang saudara, para pemimpin daerah saling berebut kekuasaan, dan otoritas pemerintah pusat di Damaskus nyaris runtuh. Namun dari kekacauan itu, muncul sosok pemimpin muda yang penuh ketegasan, kecerdasan, dan visi besar — Abdul Malik bin Marwan — yang kemudian berhasil menyatukan kembali dunia Islam dalam waktu yang relatif singkat.

Sebelum masa pemerintahannya, umat Islam terbelah antara berbagai kekuatan besar. Di Hijaz (Makkah dan Madinah), Abdullah bin Zubair mendeklarasikan kekhalifahan tandingan. Di Irak, muncul kelompok Khawarij yang menolak kekuasaan Umayyah. Di Syam dan Mesir, loyalitas rakyat terpecah akibat politik dan ketidakstabilan ekonomi. Dalam situasi yang rapuh itu, Abdul Malik harus berhadapan dengan ancaman internal dan eksternal secara bersamaan.

Namun, Abdul Malik bukan tipe penguasa yang panik atau tergesa-gesa. Ia mengambil langkah strategis dengan menegakkan disiplin dan membangun kembali otoritas negara dari dalam. Ia memperkuat pasukan Syam yang terkenal loyal dan profesional, kemudian menata ulang struktur pemerintahan agar efisien dan stabil. Ia menunda ekspansi militer ke luar negeri demi memfokuskan energi pada penyatuan internal dunia Islam. Langkah ini menunjukkan kebijaksanaan dan prioritas yang jelas: stabilitas lebih penting daripada ambisi.

Salah satu keputusan paling penting dalam masa pemerintahannya adalah penumpasan pemberontakan Abdullah bin Zubair di Makkah. Meski pertempuran itu pahit, keberhasilannya mengakhiri perang saudara yang berlangsung hampir satu dekade. Setelah itu, Abdul Malik segera memperbaiki hubungan antara Syam, Irak, dan Hijaz, memastikan bahwa setiap wilayah memiliki pemerintahan yang kuat, adil, dan bertanggung jawab kepada pusat.

Untuk memperkuat legitimasi kekhalifahan, Abdul Malik menegakkan sistem administrasi yang seragam di seluruh wilayah. Ia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi pemerintahan, menggantikan bahasa Yunani dan Persia yang sebelumnya digunakan oleh birokrat di wilayah bekas Bizantium dan Sasaniyah. Kebijakan ini tidak hanya memperkuat identitas politik Islam, tetapi juga menjadi alat pemersatu budaya dan komunikasi di seluruh kekhalifahan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah.

Selain reformasi administratif, Abdul Malik juga memperkenalkan sistem moneter baru — Dinar Emas dan Dirham Perak Islam — yang mempertegas kedaulatan ekonomi dunia Islam dan mengakhiri ketergantungan pada mata uang asing. Langkah ini memiliki makna politik yang dalam: dunia Islam kini berdiri dengan identitasnya sendiri, bebas dari pengaruh kekaisaran lama seperti Romawi Timur dan Persia.

Abdul Malik juga memahami bahwa persatuan politik harus didukung oleh persatuan spiritual dan simbolik. Karena itu, ia memprakarsai pembangunan Kubah Batu (Dome of the Rock) di Yerusalem, salah satu karya arsitektur Islam paling megah dalam sejarah. Selain menjadi simbol kebanggaan umat Islam, bangunan itu juga memperkuat posisi Yerusalem sebagai kota suci ketiga dalam Islam setelah Makkah dan Madinah, sekaligus mempererat kesatuan umat di bawah simbol yang sama.

Meski dikenal tegas terhadap lawan politiknya, Abdul Malik tidak memerintah dengan kezaliman. Ia membangun sistem keadilan dan keamanan yang memungkinkan rakyat hidup tenang setelah masa panjang peperangan. Ia sering berkata, “Tidak ada pemerintahan tanpa kekuasaan, tidak ada kekuasaan tanpa pasukan, tidak ada pasukan tanpa harta, dan tidak ada harta tanpa keadilan.” Pandangan ini menjadi prinsip dasar pemerintahan stabil yang bertahan lama setelah wafatnya.

Hasil dari kepemimpinannya sangat nyata. Dalam dua dekade, dunia Islam yang sebelumnya tercerai-berai kembali bersatu di bawah satu bendera. Perekonomian pulih, perdagangan meningkat, dan hubungan diplomatik dengan kekaisaran tetangga berjalan baik. Setelah stabilitas tercapai, putranya Al-Walid bin Abdul Malik melanjutkan warisan itu dengan memperluas wilayah Islam hingga Afrika Utara, Spanyol, dan India.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Abdul Malik bin Marwan wafat pada tahun 86 H (705 M), namun warisannya sebagai penyatupersatuan umat tetap dikenang sepanjang masa. Ia bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga simbol kebangkitan peradaban Islam setelah masa krisis. Di tangannya, dunia Islam berubah dari kekacauan menuju keteraturan, dari perpecahan menuju persatuan.

Sejarawan klasik seperti Ibnu Katsir dan At-Tabari menyebutnya sebagai “khalifah yang menyatukan kembali Islam setelah tercerai berai.” Dan memang benar — Abdul Malik bin Marwan bukan hanya pemimpin yang membangun negara, tetapi juga arsitek kesatuan umat yang mengubah sejarah Islam untuk selamanya.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...