Hasan Al-Bashri adalah sosok ulama besar generasi tabi’in yang dikenal karena kezuhudan, ketegasan, dan keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran. Ia hidup di masa pasca-Khulafaur Rasyidin, ketika kekuasaan Islam mulai diwarnai kemewahan dan perebutan politik. Dalam situasi seperti itu, Hasan Al-Bashri tampil sebagai suara nurani yang mengingatkan umat untuk kembali kepada kesederhanaan, keikhlasan, dan ketakwaan kepada Allah.
Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Al-Bashri. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H (642 M), hanya sembilan tahun setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Masa kecilnya istimewa karena tumbuh di lingkungan para sahabat Nabi. Ibunya, Khairah, adalah mantan budak Ummu Salamah — istri Rasulullah ﷺ — sehingga Hasan kecil sering berada di rumah yang penuh dengan ilmu dan keberkahan. Dari Ummu Salamah dan para sahabat besar lainnya, ia menyerap nilai-nilai keimanan dan ketulusan yang kelak membentuk karakternya.
Ketika dewasa, Hasan Al-Bashri pindah ke kota Basrah (Irak), yang pada masa itu menjadi pusat ilmu dan perdagangan. Di kota inilah ia mengajar, berdakwah, dan membimbing umat. Ia dikenal memiliki ucapan yang lembut namun tajam, hikmah yang dalam namun mudah dipahami. Banyak tokoh besar belajar darinya, termasuk para ulama, ahli ibadah, dan sufi awal Islam.
Salah satu hal yang membuat Hasan Al-Bashri dikenang sepanjang masa adalah keberaniannya menegur para penguasa yang zalim. Ia tidak takut menyampaikan kebenaran meskipun di hadapan khalifah. Saat dunia Islam dilanda kemewahan dan penyalahgunaan kekuasaan, Hasan berdiri di mimbar Basrah dan berkata, “Wahai manusia, dunia hanyalah tempat singgah, bukan tempat tinggal. Jangan tertipu oleh keindahannya, karena ia akan pergi seperti bayangan yang lenyap.” Ucapannya menampar hati banyak orang, termasuk para pejabat yang terbiasa hidup mewah.
Zuhudnya Hasan Al-Bashri bukan berarti menjauhi dunia sepenuhnya, tetapi menempatkannya pada posisi yang benar. Ia bekerja, berdagang, dan bergaul dengan masyarakat, namun hatinya tidak pernah terikat oleh harta atau kedudukan. Ia sering berkata, “Dunia itu tiga hari: kemarin telah pergi, esok belum datang, dan hari ini adalah kesempatanmu untuk beramal.” Pandangan hidupnya mengajarkan keseimbangan antara tanggung jawab dunia dan orientasi akhirat.
Hasan juga dikenal karena kefasihan dan kedalaman nasihatnya. Setiap kali berbicara, kata-katanya menyentuh hati. Suatu ketika seseorang bertanya kepadanya tentang tanda orang yang benar-benar beriman. Ia menjawab, “Ia adalah yang paling takut kepada Allah ketika sendirian, paling jujur ketika berbicara, dan paling sedikit berharap dari manusia.” Jawaban sederhana, tapi menggambarkan keindahan iman yang sejati.
Hasan Al-Bashri wafat di Basrah pada tahun 110 H (728 M), dan seluruh penduduk kota menangis kehilangannya. Ia meninggalkan warisan besar berupa ilmu, hikmah, dan teladan moral yang tak lekang oleh zaman. Ketegasannya dalam menegakkan kebenaran dan kejujurannya dalam hidup menjadikannya simbol ulama sejati — yang tidak tunduk pada kekuasaan, tidak tergoda oleh dunia, dan hanya takut kepada Allah semata.
Melalui sosok Hasan Al-Bashri, umat Islam belajar bahwa keberanian dan kezuhudan bukan dua hal yang berlawanan. Justru dari hati yang bersih lahir kekuatan untuk menegakkan kebenaran. Ia membuktikan bahwa seorang alim sejati bukan diukur dari banyaknya ilmu, tetapi dari ketulusan dalam mengamalkannya dan keberanian untuk menyuarakan yang hak meski dunia menentang.


























