Warisan pemikiran Ibnu Taimiyah tidak hanya membentuk wajah keilmuan Islam pada masanya, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap dunia Islam modern. Pemikirannya tentang tauhid, fiqih, akidah, dan masyarakat menjadi fondasi bagi gerakan pembaruan Islam yang muncul berabad-abad setelah wafatnya. Ia bukan sekadar ulama masa lalu, melainkan pemikir visioner yang ide-idenya tetap hidup dan relevan hingga hari ini.
Salah satu kontribusi terpenting Ibnu Taimiyah adalah dalam bidang akidah dan tauhid. Ia menegaskan bahwa pemahaman tentang keesaan Allah harus murni dari Al-Qur’an dan sunnah, bukan hasil spekulasi filsafat atau takwil berlebihan. Pemikiran ini menjadi dasar bagi munculnya gerakan tajdid (pembaruan) di berbagai wilayah Islam. Ulama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab, Syah Waliullah di India, dan banyak pemikir reformis abad ke-19 seperti Jamaluddin Al-Afghani serta Muhammad Abduh, terinspirasi oleh gagasan-gagasannya.
Dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah juga membawa pembaruan besar. Ia menolak taklid buta terhadap mazhab tertentu dan mendorong ijtihad — penggunaan akal dan dalil dalam menyelesaikan persoalan baru. Menurutnya, Islam harus tetap dinamis dan mampu menjawab tantangan zaman tanpa keluar dari prinsip wahyu. Pandangan ini membuatnya sering disebut sebagai pelopor fikih kontekstual yang memadukan kesetiaan terhadap nash dengan pemahaman realitas sosial.
Pemikirannya juga berpengaruh besar dalam bidang sosial dan politik. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kekuasaan dan pemerintahan harus dijalankan berdasarkan keadilan dan hukum Allah. Ia menulis, “Keadilan adalah dasar segala sesuatu. Dengan keadilan, negeri kafir bisa bertahan, dan dengan kezaliman, negeri Islam bisa hancur.” Pandangan ini kemudian menginspirasi banyak pemikir politik Islam modern yang menyerukan keadilan sosial dan pemerintahan yang berorientasi pada maslahat rakyat.
Selain itu, Ibnu Taimiyah memiliki pandangan mendalam tentang hubungan antara akal dan wahyu. Ia menolak dikotomi antara keduanya. Bagi beliau, akal adalah alat untuk memahami wahyu, bukan untuk menggantikannya. Dalam karyanya Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa an-Naql, ia menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan sejati antara logika dan teks suci, karena keduanya berasal dari sumber yang sama: Allah. Gagasan ini menjadi jembatan antara tradisi rasional dan tekstual dalam studi Islam modern.
Pemikiran Ibnu Taimiyah juga memberi pengaruh besar terhadap disiplin spiritualitas Islam. Ia menolak bentuk-bentuk tasawuf yang berlebihan, namun tetap mengakui pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Ia menegaskan bahwa zikir, ibadah, dan zuhud adalah bagian penting dari iman, asalkan dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Pandangan ini menjadikan tasawuf kembali kepada landasan syariat, jauh dari penyimpangan dan ekstremisme.
Hingga kini, karya-karya Ibnu Taimiyah seperti Majmu’ al-Fatawa dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah terus dipelajari di berbagai lembaga pendidikan Islam. Di pesantren, universitas, dan lembaga riset modern, gagasan-gagasannya masih menjadi sumber inspirasi untuk menjawab persoalan umat di era globalisasi. Ia membuktikan bahwa Islam tidak menolak modernitas, asalkan modernitas itu dibangun di atas tauhid, keadilan, dan ilmu yang benar.
Ibnu Taimiyah adalah bukti bahwa warisan sejati seorang ulama bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tetapi pada semangat yang ditinggalkannya. Ia mewariskan kepada umat Islam sebuah pandangan hidup yang tegas namun rasional, kokoh namun terbuka, serta ilmiah namun tetap spiritual. Warisannya terus hidup, menjadi obor bagi mereka yang ingin menghidupkan Islam bukan sekadar dalam teori, tetapi dalam realitas kehidupan.
						
									

























								
				
				
			