Imam An-Nawawi adalah simbol ulama sejati yang memadukan keluasan ilmu dengan keteguhan prinsip. Ia bukan hanya seorang cendekiawan besar dalam fiqih dan hadis, tetapi juga seorang pejuang moral yang berani menyuarakan kebenaran di tengah tekanan penguasa. Dalam dirinya, ilmu tidak berhenti sebagai pengetahuan, tetapi menjadi kompas hidup yang menuntun umat untuk tetap berjalan di jalan yang lurus.
Dalam bidang ilmu, Imam An-Nawawi mencapai derajat yang tinggi. Ia menguasai berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, ushul fiqih, hadis, dan bahasa Arab. Di kalangan ulama mazhab Syafi’i, beliau dikenal sebagai salah satu mujtahid tarjih — yaitu ulama yang mampu memilih dan menimbang pendapat-pendapat dalam mazhab dengan argumentasi kuat. Karya-karyanya seperti Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Riyadhus Shalihin, dan Syarh Shahih Muslim menjadi bukti kedalaman ilmunya sekaligus ketekunannya dalam menulis.
Keilmuan Imam An-Nawawi tidak hanya teoretis, tetapi juga aplikatif. Ia menulis dengan tujuan memudahkan umat memahami syariat Islam. Dalam Al-Majmu’, misalnya, beliau menguraikan permasalahan fiqih dengan sistematis dan menjelaskan perbedaan pendapat antarulama dengan adil dan bijak. Pendekatan seperti ini menunjukkan kecintaannya terhadap kebenaran dan kejujuran ilmiah — sesuatu yang jarang ditemukan di tengah fanatisme mazhab pada zamannya.
Namun, yang paling menonjol dari Imam An-Nawawi bukan hanya kecerdasannya, melainkan keberaniannya dalam membela kebenaran. Salah satu peristiwa paling terkenal adalah ketika Sultan Mamluk pada masa itu memberlakukan kebijakan yang menindas rakyat, termasuk pungutan pajak tambahan untuk membiayai perang. Banyak ulama terpaksa memberikan legitimasi kepada kebijakan tersebut karena tekanan politik. Imam An-Nawawi menolak dengan tegas dan menulis surat terbuka kepada sultan, menyatakan bahwa keputusan itu zalim dan tidak sesuai dengan syariat.
Sikap tegas itu membuatnya dicopot dari jabatannya sebagai pengajar di Damaskus dan diasingkan ke kampung halamannya di Nawa. Namun, Imam An-Nawawi tidak pernah menyesali keputusannya. Ia justru menganggap bahwa mempertahankan prinsip adalah bentuk tertinggi dari jihad. Dalam pengasingannya, beliau tetap mengajar, menulis, dan menasihati umat hingga akhir hayatnya.
Keberanian Imam An-Nawawi menjadi teladan bagi ulama di berbagai zaman. Ia membuktikan bahwa ilmu sejati harus disertai integritas. Tidak ada artinya pengetahuan jika tidak dibarengi dengan keberanian untuk berkata benar, sekalipun di hadapan penguasa. Dalam sejarah Islam, nama Imam An-Nawawi akan selalu dikenang sebagai ulama yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dibungkam, dan tidak pernah berhenti menegakkan kebenaran.
Warisannya mengajarkan bahwa keberanian bukanlah sikap keras kepala, tetapi bentuk keteguhan hati yang dilandasi iman dan keikhlasan. Di tengah dunia yang sering kali mengaburkan batas antara benar dan salah, keteladanan Imam An-Nawawi adalah cahaya yang terus menuntun umat Islam untuk menjunjung tinggi kebenaran, apa pun risikonya.
						
									

























								
				
				
			