Monitorday.com – Dalam lautan karya hadis yang menghiasi khazanah Islam klasik, kitab “Shahih Ibnu Hibban” menempati posisi unik dan istimewa. Disusun oleh Imam Muhammad bin Hibban Al-Busti, kitab ini sering disebut sebagai permata yang terlupakan, karena keistimewaannya sering tertutupi oleh popularitas Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Padahal, secara kedalaman sanad dan keindahan susunan, karya ini adalah mahakarya yang memadukan ketelitian ilmiah dan keindahan makna.
Imam Ibnu Hibban lahir di Bustan, Khurasan (Afghanistan modern) pada tahun 270 Hijriah (884 M). Sejak muda, ia telah menekuni ilmu hadis dengan semangat luar biasa. Ia melakukan perjalanan ke Irak, Syam, Hijaz, dan Mesir, berguru kepada ratusan ulama hadis terkemuka. Dari perjalanan panjang itu, ia mengumpulkan ribuan hadis dengan sanad yang ia periksa langsung dari para perawi terpercaya.
Puncak dari perjalanan intelektualnya terwujud dalam kitab Shahih Ibnu Hibban, yang ia beri nama asli “At-Taqasim wa Al-Anwa’.” Dalam kitab ini, ia menulis hadis-hadis sahih berdasarkan makna dan tema moral, bukan berdasarkan urutan bab fikih seperti kitab Sunan atau Musnad. Karena itu, kitab ini menjadi ensiklopedia hadis pertama yang disusun berdasarkan konsep tematik.
Struktur Shahih Ibnu Hibban sangat khas. Setiap hadis dikelompokkan dalam “jenis” (naw’) dan “bagian” (taqsim). Misalnya, hadis tentang kejujuran, kesabaran, atau adab akan dikelompokkan dalam kategori moral tertentu. Cara ini menunjukkan betapa Imam Ibnu Hibban bukan hanya seorang penghafal hadis, tapi juga pemikir sistematis yang memahami esensi ajaran Islam secara tematik dan filosofis.
Beberapa keistimewaan besar kitab Shahih Ibnu Hibban, bro 👇
1. Struktur tematik dan fleksibel
Imam Ibnu Hibban tidak menyusun kitabnya secara tradisional seperti “Bab Thaharah” atau “Bab Shalat,” tapi berdasarkan hikmah dan nilai. Metode ini membuat kitabnya sangat relevan untuk kajian moral dan sosial Islam modern.
2. Kehati-hatian dalam menilai sanad
Ibnu Hibban dikenal sangat teliti dalam memeriksa keaslian hadis. Ia tidak menerima riwayat dari perawi yang lemah atau tidak dikenal, dan dalam kitabnya, ia menjelaskan alasan di balik penilaian tersebut.
3. Keseimbangan antara riwayat dan pemikiran
Ia tidak sekadar mengumpulkan hadis, tetapi juga menampilkan kecerdasan dalam memilih hadis yang selaras satu sama lain, sehingga pembaca bisa memahami tema secara utuh dan mendalam.
4. Sumber inspirasi bagi ulama setelahnya
Shahih Ibnu Hibban menjadi dasar bagi ulama besar seperti Al-Hakim An-Naisaburi dalam menyusun Al-Mustadrak, dan juga bagi Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menilai hadis-hadis dalam Fathul Bari.
Kitab ini sempat hilang sebagian selama berabad-abad karena peperangan dan perpindahan naskah, namun pada abad ke-20, para peneliti hadis berhasil mengumpulkan kembali manuskripnya dari berbagai perpustakaan Islam di Mesir, Suriah, dan Turki. Kini, Shahih Ibnu Hibban telah dicetak dalam 17 jilid dan menjadi salah satu rujukan penting di universitas Islam dunia.
Selain kekuatan sanadnya, Shahih Ibnu Hibban juga dikenal karena kecantikan bahasanya. Imam Ibnu Hibban menulis dengan gaya yang lembut, penuh hikmah, dan mudah dipahami. Ia tidak hanya menyampaikan hukum, tapi juga menyentuh hati pembacanya.
Ibnu Hibban menulis kitab ini bukan untuk mencari ketenaran, melainkan untuk mendidik umat. Dalam mukadimahnya, ia menulis,
> “Aku menulis kitab ini agar orang yang mencari kebenaran bisa menemukannya dengan mudah, dan agar orang yang jauh dari ilmu dapat merasakannya tanpa tersesat oleh panjangnya pembahasan.”
Karya ini menunjukkan betapa Ibnu Hibban adalah ulama yang berpikir jauh ke depan. Ia memahami bahwa hadis bukan sekadar teks untuk dibaca, tapi cahaya untuk membimbing kehidupan.
Hingga kini, Shahih Ibnu Hibban tetap menjadi sumber penting bagi para ahli hadis, ulama, dan akademisi modern. Ia menjadi bukti bahwa di balik ketenangan ulama klasik, tersembunyi kecerdasan sistematis yang mendahului zamannya.
Imam Ibnu Hibban wafat di Bustan pada tahun 354 Hijriah (965 M), meninggalkan warisan ilmu yang melintasi waktu. Kitabnya adalah pengingat bahwa ilmu yang ditulis dengan keikhlasan tidak akan pernah hilang, meski dunia mungkin sempat melupakannya.
						
									

























								
				
				
			