Nama Imam Malik bin Anas akan selalu dikenang sebagai salah satu pilar utama dalam sejarah hukum Islam. Melalui kecerdasan, keteguhan, dan ketulusannya, ia tidak hanya menjaga hadis Nabi ﷺ, tetapi juga melahirkan mazhab fikih besar — Mazhab Malikiyah — yang hingga kini menjadi pegangan jutaan umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Imam Malik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriah (712 M) dan wafat di sana pada tahun 179 Hijriah (795 M). Ia tumbuh di kota yang menjadi sumber ilmu dan cahaya, tempat para sahabat Rasulullah ﷺ pernah hidup dan mengajarkan agama. Lingkungan inilah yang membentuk pemahamannya bahwa amal penduduk Madinah (ʿamal ahlil Madinah) adalah warisan autentik dari Rasulullah ﷺ, karena tradisi itu diwariskan secara langsung dari generasi sahabat.
Dari prinsip itu, Imam Malik menyusun pendekatan khas dalam fikihnya. Ia tidak hanya berpegang pada teks hadis, tapi juga mempertimbangkan praktik nyata para ulama dan masyarakat Madinah. Menurutnya, apa yang telah diamalkan secara turun-temurun oleh penduduk Madinah memiliki kekuatan hukum, karena mereka adalah pewaris amal Rasul dan para sahabatnya.
Puncak keilmuannya terwujud dalam karya agungnya, “Al-Muwaththa’”, kitab yang menjadi tonggak utama dalam sejarah hadis dan fikih. Disusun selama lebih dari 40 tahun, kitab ini memuat lebih dari 1.700 hadis dan fatwa ulama Madinah, disusun dengan urutan tematik dan logika hukum yang sangat kuat.
Keistimewaan Al-Muwaththa’ membuat banyak ulama menyebutnya sebagai kitab hadis dan fikih paling awal sekaligus paling sempurna. Imam Syafi’i bahkan berkata,
“Tidak ada kitab di muka bumi setelah Kitabullah yang lebih sahih dari Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.”
Warisan terbesar Imam Malik adalah lahirnya Mazhab Malikiyah, yang menjadi salah satu dari empat mazhab besar dalam Islam (bersama Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Mazhab ini banyak berkembang di Afrika Utara, Andalusia (Spanyol Muslim), Mesir, Sudan, hingga sebagian wilayah Timur Tengah.
Ciri khas Mazhab Malikiyah terletak pada keseimbangan antara nash (teks) dan praktik sosial. Mazhab ini tidak kaku pada teks semata, tetapi juga memperhatikan maslahat (kemaslahatan umum), istihsan (penilaian terbaik berdasarkan hikmah), dan ‘urf (kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat). Karena itu, mazhab ini dikenal fleksibel dan kontekstual, mampu diterapkan di berbagai wilayah dan zaman tanpa kehilangan prinsip syariat.
Selain kecerdasan ilmiahnya, Imam Malik juga mewariskan adab dan integritas ulama sejati. Ia mengajarkan bahwa ilmu tidak boleh dijadikan alat politik, dan fatwa tidak boleh keluar tanpa kehati-hatian. Ia pernah berkata,
“Siapa yang ingin menjawab pertanyaan agama, hendaklah ia membayangkan dirinya berdiri di antara surga dan neraka, lalu memilih jawaban yang menyelamatkannya.”
Ucapan itu menggambarkan betapa berharganya tanggung jawab seorang ulama di hadapan Allah. Dan karena ketulusan itulah, ilmunya diberkahi hingga hari ini.
Warisan Imam Malik bukan sekadar mazhab fikih, tapi juga mazhab keikhlasan dan kehormatan. Ia menunjukkan bahwa agama tidak hanya dijaga melalui kata-kata, tapi juga melalui sikap dan prinsip. Mazhabnya hidup bukan karena kekuasaan, tapi karena kejujuran ilmunya.
Lebih dari seribu dua ratus tahun setelah wafatnya, Al-Muwaththa’ masih diajarkan di berbagai madrasah dan universitas Islam di seluruh dunia. Di setiap lembar kitab itu, terpatri semangat Imam Malik — ulama Madinah yang menjaga sunnah dengan ilmu, membela kebenaran dengan keberanian, dan meninggalkan warisan yang abadi bagi umat Islam.
						
									

























								
				
				
			