Di antara empat imam besar dalam Islam, Imam Malik bin Anas menempati posisi istimewa sebagai penjaga ilmu dan tradisi Rasulullah ﷺ di Madinah. Ia dijuluki Imam Darul Hijrah — imam dari Kota Hijrah — karena hidup dan mengajar di kota yang menjadi sumber utama hadis dan hukum Islam. Dari tangannya lahir mazhab besar yang hingga kini diikuti oleh jutaan umat di dunia Islam bagian barat.
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Asbahi, lahir di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 93 Hijriah (712 M), masa ketika para tabi’in — generasi setelah sahabat — masih hidup. Ia tumbuh di tengah kota ilmu, di mana hadis Nabi ﷺ masih terjaga langsung melalui murid-murid para sahabat. Tak heran, sejak kecil Imam Malik sudah memiliki kecintaan luar biasa terhadap hadis dan fikih.
Ayahnya adalah seorang ulama, sementara ibunya yang salehah menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakternya. Dikisahkan, sebelum Malik kecil pergi menuntut ilmu, ibunya memakaikan sorban dan berkata,
“Pergilah belajar kepada Rabi’ah bin Abdurrahman, tapi pelajarilah terlebih dahulu adabnya sebelum ilmunya.”
Ucapan itu menjadi prinsip hidup Imam Malik sepanjang karier ilmiahnya — bahwa ilmu tanpa adab bukanlah ilmu yang bermanfaat.
Sejak muda, Imam Malik belajar kepada ulama-ulama besar Madinah seperti Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibn Syihab Az-Zuhri, dan Ja’far Ash-Shadiq. Dari mereka, ia memperoleh ilmu hadis, fikih, dan pemahaman mendalam tentang sunnah Rasulullah ﷺ. Ia dikenal sangat teliti dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis; tidak pernah meriwayatkan satu hadis pun kecuali setelah memastikan kebenarannya.
Ketika ilmunya telah matang, Imam Malik membuka majelis ilmu di Masjid Nabawi. Di situlah ribuan murid dari berbagai negeri datang untuk belajar darinya. Ia mengajar dengan penuh ketenangan dan wibawa. Jika disebut nama Rasulullah ﷺ, wajahnya berubah — penuh rasa hormat dan air matanya menetes. Ia tidak mau meriwayatkan hadis sambil berdiri atau tergesa-gesa, karena menurutnya,
“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Dari majelis itulah lahir karya besarnya, “Al-Muwaththa’”, kitab hadis dan fikih pertama yang disusun dengan sistematis. Kitab ini memuat lebih dari 1.700 hadis dan atsar, serta menjadi pedoman utama bagi para ulama setelahnya, termasuk Imam Syafi’i yang menyebut Al-Muwaththa’ sebagai “kitab paling sahih setelah Al-Qur’an.”
Imam Malik bukan hanya ahli hadis, tapi juga teladan dalam keteguhan moral. Ia menolak tunduk pada tekanan penguasa sekalipun harus menderita. Ketika khalifah meminta agar fatwanya diubah demi kepentingan politik, Imam Malik menolak dengan tegas, berkata,
“Ilmu tidak boleh dipaksa oleh kekuasaan. Yang benar adalah kebenaran, meski pahit.”
Sikap berani dan integritas ilmiahnya membuatnya dihormati oleh seluruh umat Islam. Ia wafat di Madinah pada tahun 179 Hijriah (795 M) dan dimakamkan di pemakaman Baqi’, di antara para sahabat Rasulullah ﷺ.
Imam Malik bin Anas mengajarkan kepada kita bahwa ilmu sejati lahir dari adab, kejujuran, dan cinta kepada Rasulullah ﷺ. Ia bukan hanya seorang ulama, tapi penjaga warisan Nabi di kota suci. Dan melalui Al-Muwaththa’, ia meninggalkan jejak ilmu yang akan terus hidup sepanjang zaman.


























