Nama Imam Abu Dawud As-Sijistani tidak bisa dilepaskan dari sejarah besar ilmu hadis dan hukum Islam. Melalui karya monumentalnya, Sunan Abu Dawud, ia mewariskan kepada umat Islam sebuah khazanah keilmuan yang menjadi fondasi dalam penetapan hukum syariat hingga kini.
Imam Abu Dawud lahir di Sijistan pada tahun 202 Hijriah (817 M) dan wafat di Basrah pada tahun 275 Hijriah (888 M). Dalam rentang hidupnya, ia mendedikasikan seluruh waktunya untuk mencari, meneliti, dan mengajarkan hadis Nabi ﷺ. Ia bukan hanya ahli hadis, tetapi juga seorang faqih (ahli hukum Islam) yang mampu memahami konteks hukum di balik setiap sabda Rasulullah.
Karya besarnya, Sunan Abu Dawud, berisi sekitar 4.800 hadis yang sebagian besar berkaitan dengan hukum Islam. Kitab ini tidak hanya menjadi kumpulan riwayat, tetapi juga panduan praktis dalam kehidupan syariat, mulai dari ibadah, muamalah, keluarga, hingga pidana. Oleh karena itu, para ulama menyebutnya sebagai “kitab hukum hadis paling komprehensif” di antara enam kitab utama (Kutubus Sittah).
Keistimewaan Sunan Abu Dawud terletak pada ketelitian dan fokusnya terhadap hukum (‘ahkam’). Imam Abu Dawud menyeleksi hadis-hadis dengan sangat hati-hati, memprioritaskan riwayat yang bisa menjadi dasar dalam istinbat hukum (pengambilan hukum fikih). Ia juga menyebutkan hadis yang lemah dengan penjelasan, agar para ulama bisa menilai kedudukannya sendiri.
Kitab ini kemudian menjadi rujukan penting bagi para ulama fikih lintas mazhab. Imam Ahmad bin Hanbal, gurunya, banyak mengambil dasar hukum dari hadis-hadis yang dikumpulkan Abu Dawud. Di kemudian hari, mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki pun menjadikan kitab ini sebagai salah satu sumber rujukan mereka dalam menegakkan fatwa.
Pengaruhnya tidak berhenti di masa klasik. Hingga hari ini, Sunan Abu Dawud menjadi sumber utama hukum Islam yang diajarkan di pesantren, universitas Islam, dan lembaga fatwa di seluruh dunia. Banyak kitab fikih besar seperti Bulughul Maram karya Ibnu Hajar atau Subulussalam karya Ash-Shan’ani merujuk pada hadis-hadis dari kitab ini.
Selain sebagai ilmuwan besar, Imam Abu Dawud juga dikenal karena akhlaknya yang luhur dan keikhlasannya. Ia menolak hadiah dari penguasa, menolak kedudukan, dan memilih hidup sederhana agar ilmunya tetap bersih. Ia pernah berkata:
“Aku tidak menulis satu hadis pun kecuali dengan niat bahwa aku akan mengamalkannya jika sahih.”
Ucapan itu menggambarkan bahwa baginya, ilmu bukan sekadar untuk diketahui, tapi untuk diamalkan. Itulah sebabnya ilmunya diberkahi dan terus hidup hingga berabad-abad setelah wafatnya.
Warisan Imam Abu Dawud juga terlihat dalam pengaruhnya terhadap ulama hadis setelahnya. Tokoh-tokoh besar seperti Imam At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah banyak terinspirasi oleh sistematika dan kehati-hatian metodologinya. Bahkan, struktur tematik yang ia gunakan menjadi model dasar dalam penyusunan kitab-kitab hadis hukum modern.
Dari sosok Imam Abu Dawud, kita belajar bahwa menjaga sunnah Nabi ﷺ adalah amanah besar yang membutuhkan ilmu, kesabaran, dan keikhlasan. Ia tidak hanya meriwayatkan hadis, tapi juga menjaga agar umat Islam dapat memahami dan mengamalkan hukum Islam dengan benar.
Kini, lebih dari seribu tahun setelah wafatnya, Sunan Abu Dawud masih dibaca, diteliti, dan dijadikan pedoman hukum. Setiap kali hadisnya dibacakan dalam majelis ilmu, nama Imam Abu Dawud kembali hidup — menjadi saksi bahwa ilmu yang tulus karena Allah akan kekal selamanya.


























