Kisah hidup Imam Asy-Syafi’i adalah perjalanan luar biasa seorang anak yatim dari Gaza yang tumbuh menjadi salah satu ulama paling berpengaruh dalam sejarah Islam. Ia menempuh perjalanan panjang — dari Palestina, Makkah, Madinah, Yaman, Irak, hingga Mesir — demi mencari ilmu dan menyatukan perbedaan pemikiran umat dengan hikmah dan kecerdasan.
Imam Asy-Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 Hijriah (767 M). Ayahnya wafat ketika ia masih kecil, dan ibunya membawanya ke Makkah agar bisa tumbuh di lingkungan ilmu. Meskipun hidup sederhana, ibunya sangat memperhatikan pendidikannya. Ia mendorong putranya untuk menghafal Al-Qur’an, hadis, dan bahasa Arab sejak dini.
Pada usia tujuh tahun, Imam Syafi’i sudah hafal Al-Qur’an seluruhnya, dan di usia sepuluh tahun ia telah menghafal Al-Muwaththa’ karya Imam Malik — kitab hadis dan fikih terkenal di zamannya. Ia belajar bahasa Arab langsung dari suku-suku Badui di pedalaman untuk menguasai sastra dan kefasihan bahasa Arab klasik.
Setelah dewasa, ia melakukan perjalanan ke Madinah untuk belajar langsung kepada Imam Malik bin Anas, sang ahli hadis dan pendiri Mazhab Malikiyah. Imam Malik sangat kagum pada kecerdasan Syafi’i muda, hingga mengizinkannya membaca kitab Al-Muwaththa’ di hadapannya. Dari Imam Malik, ia belajar pentingnya sanad, kehati-hatian dalam fatwa, dan penghormatan terhadap sunnah Nabi ﷺ.
Setelah wafatnya Imam Malik, Syafi’i melanjutkan perjalanan ke Yaman, kemudian ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Di sana, ia bertemu murid-murid Imam Abu Hanifah, dan mempelajari metode rasional dalam fikih. Pertemuan dua aliran besar — ahlur ra’yi (rasional) dari Irak dan ahlul hadits (tekstual) dari Madinah — melahirkan pemikiran yang seimbang dalam dirinya.
Ketika berada di Baghdad, Imam Syafi’i mulai menulis kitab-kitabnya, termasuk karya monumentalnya “Ar-Risalah”, yang menjadi dasar ilmu Ushul Fikih. Melalui karya ini, ia menjelaskan cara menggabungkan dalil Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas dalam menyusun hukum Islam secara ilmiah dan teratur.
Perjalanan akhirnya membawanya ke Mesir, di mana pemikirannya mencapai puncak kematangan. Di sana, ia menulis ulang sebagian pendapatnya agar lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Mesir. Karena itulah, dalam Mazhab Syafi’i dikenal dua fase: qaul qadim (pendapat lama) di Irak dan qaul jadid (pendapat baru) di Mesir.
Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan berakhlak lembut. Dalam setiap perdebatan ilmiah, ia tetap sopan dan menghargai lawan bicaranya. Ia pernah berkata,
“Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang, kecuali aku berharap kebenaran muncul dari lisannya.”
Ia wafat di Kairo, Mesir, pada tahun 204 Hijriah (820 M) dalam usia 54 tahun. Makamnya di Sayyidah Nafisah hingga kini menjadi tempat ziarah para penuntut ilmu.
Perjalanan Imam Syafi’i dari Gaza hingga Mesir bukan sekadar kisah seorang ilmuwan, tapi perjalanan spiritual seorang pencari kebenaran yang menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Allah. Ia menunjukkan bahwa kejayaan Islam lahir dari ilmu, kerja keras, dan akhlak mulia.
