Al-Qur’an mengabadikan kisah Ratu Bilqis dalam Surah An-Naml ayat 20–44. Kisah ini menjadi salah satu cerita paling menarik tentang pertemuan antara Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis, yang sarat dengan pesan iman, kebijaksanaan, dan kepemimpinan.
Kisah dimulai ketika burung Hud-hud melaporkan kepada Nabi Sulaiman tentang adanya sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh seorang perempuan, yaitu Ratu Bilqis. Ia dan rakyatnya menyembah matahari, bukan Allah. Mendengar laporan ini, Sulaiman segera mengirim surat mengajak Bilqis untuk tunduk kepada Allah.
Menariknya, Bilqis tidak terburu-buru menolak. Ia justru mengumpulkan para pembesarnya untuk bermusyawarah. Hal ini menunjukkan kecerdasannya dalam memimpin, serta sifat demokratis yang jarang ditunjukkan pemimpin kuno. Setelah mempertimbangkan, Bilqis memutuskan untuk mengirim hadiah kepada Sulaiman sebagai bentuk diplomasi. Namun, hadiah itu ditolak, menegaskan bahwa misi Sulaiman bukan mencari harta, melainkan mengajak kepada kebenaran.
Puncak kisah terjadi ketika Bilqis datang menemui Sulaiman. Sebelum ia tiba, Sulaiman telah memindahkan singgasananya dengan izin Allah. Ketika ditanya tentang tahtanya, Bilqis pun terkejut dan menyadari bahwa Sulaiman memiliki kekuatan luar biasa. Ia kemudian diajak masuk ke sebuah istana dengan lantai kaca yang tampak seperti air. Bilqis pun mengira akan menapak air dan menyingkap kainnya, namun ternyata lantai itu hanyalah kaca.
Melihat semua tanda kebesaran Allah, Bilqis akhirnya berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku, dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml: 44).
Kisah ini menunjukkan bahwa Bilqis adalah sosok pemimpin yang bijaksana dan rendah hati, yang akhirnya menerima kebenaran dengan tulus.
