Monitorday.com – Petra memiliki sejarah panjang yang menunjukkan betapa pentingnya kota ini di masa lalu. Sebagai ibu kota Kerajaan Nabatea, Petra menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan berbagai peradaban besar. Jalur kafilah yang melewati Petra membawa barang-barang berharga dari India, Arab, dan Afrika menuju Romawi dan Yunani.
Bangsa Nabatea adalah suku Arab nomaden yang kemudian menetap di wilayah Yordania selatan. Mereka ahli dalam berdagang sekaligus menguasai teknologi pengelolaan air di tengah gurun. Nabatea membangun sistem saluran air, bendungan, dan waduk untuk mengalirkan air ke Petra. Teknologi ini memungkinkan kota tersebut berkembang di wilayah yang kering dan tandus.
Petra mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-1 M di bawah pemerintahan Raja Aretas IV. Saat itu, kota ini dihiasi bangunan megah, makam raksasa, dan pusat kebudayaan yang memadukan gaya arsitektur Nabatea, Yunani, Romawi, dan Mesir.
Namun, kejayaan Petra mulai meredup setelah Kekaisaran Romawi menguasai wilayah Nabatea pada tahun 106 M. Meski tetap menjadi pusat regional, jalur perdagangan yang bergeser membuat Petra kehilangan peran strategisnya. Beberapa gempa bumi besar juga menghancurkan sebagian kota dan infrastruktur airnya.
Pada abad ke-7, Petra ditinggalkan dan terlupakan. Hanya masyarakat Badui setempat yang masih mengetahui keberadaannya. Dunia luar baru mengenal kembali Petra setelah ekspedisi Burckhardt pada tahun 1812. Sejak itu, Petra menjadi magnet bagi arkeolog, sejarawan, dan wisatawan.
Sejarah Petra adalah cermin betapa pentingnya perdagangan dan teknologi dalam membangun peradaban. Dari sebuah kota gurun, Petra menjelma menjadi pusat peradaban yang memengaruhi dunia. Meski kini hanya menyisakan reruntuhan, Petra tetap hidup sebagai warisan besar umat manusia.
