Ketaatan adalah bagian penting dari ajaran Islam. Dalam hal ini, ulil amri memiliki posisi strategis sebagai pemimpin yang harus ditaati demi kelancaran urusan umat. Namun, ketaatan kepada ulil amri selalu ditempatkan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Para ulama menegaskan bahwa hierarki ketaatan ini menunjukkan prioritas. Ketaatan tertinggi hanya milik Allah, kemudian Rasul-Nya, baru kemudian ulil amri. Jika ulil amri mengeluarkan perintah yang sesuai dengan syariat, maka wajib ditaati. Namun, jika sebaliknya, umat tidak boleh tunduk.
Kepemimpinan duniawi memiliki peran untuk menjaga ketertiban, mengatur hukum, dan menegakkan keadilan. Tanpa pemimpin, kehidupan sosial akan kacau. Oleh karena itu, Islam memandang kepemimpinan sebagai kebutuhan fitrah manusia.
Sementara itu, ketaatan kepada Allah bersifat mutlak. Segala bentuk keputusan pemimpin harus tetap dalam koridor aturan-Nya. Hubungan ini menegaskan bahwa kepemimpinan duniawi hanyalah amanah, bukan kekuasaan mutlak.
Di masyarakat modern, tantangan muncul ketika pemimpin tidak lagi menjadikan syariat sebagai pedoman utama. Dalam kondisi seperti ini, umat dituntut untuk bijak. Menolak perintah yang melanggar syariat boleh dilakukan, namun dengan cara yang tetap menjaga stabilitas sosial dan menghindari fitnah.
Dengan demikian, ketaatan kepada ulil amri adalah wujud kedewasaan beragama. Ia bukan sekadar kepatuhan buta, melainkan kepatuhan yang terikat pada ketaatan yang lebih tinggi, yakni kepada Allah SWT.
