Fatwa tidak muncul begitu saja. Ia merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan kajian mendalam, metodologi ilmiah, serta tanggung jawab moral dan spiritual yang besar. Semuanya berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat kepada seorang ulama atau lembaga fatwa.
Pertanyaan itu biasanya menyangkut hal-hal yang belum pernah dijelaskan secara rinci dalam teks keagamaan atau yang berkembang dalam konteks kekinian, seperti hukum menggunakan AI, transaksi e-wallet, atau program bayi tabung. Dalam menjawab, mufti tidak bisa asal berpendapat. Ia harus menguasai ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis, dan memahami konteks sosial tempat fatwa itu akan diterapkan.
Langkah awal dalam menerbitkan fatwa adalah proses istifta’ (permintaan fatwa). Setelah menerima pertanyaan, ulama akan mengkaji kasus tersebut dari sudut pandang syariah. Ia akan meneliti dalil-dalil Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Dalam kasus modern, ia juga bisa mengacu pada kaidah-kaidah fiqih dan maqashid syariah.
Jika kasusnya kompleks atau memiliki dampak luas, ulama atau lembaga fatwa biasanya akan bermusyawarah. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki Komisi Fatwa yang terdiri dari para ahli lintas bidang, termasuk kedokteran, ekonomi, dan teknologi.
Fatwa yang telah dikeluarkan akan dipublikasikan agar bisa menjadi panduan umat. Namun, ulama juga tetap menekankan bahwa fatwa bersifat kontekstual dan fleksibel. Fatwa bisa berubah jika situasi atau pengetahuan baru ditemukan.
