Kemajuan teknologi komunikasi membawa banyak kemudahan, tapi juga membuka peluang besar bagi lahirnya fitnah yang tak terbendung. Setiap orang kini bisa menjadi “wartawan”, “editor”, dan “penyebar berita” hanya dengan beberapa klik. Di tengah arus deras informasi ini, menjaga lisan—atau jari—menjadi semakin penting.
Di era digital, fitnah bisa berbentuk ujaran kebencian, penggiringan opini, hingga penyebaran kebohongan. Salah satu tantangan utamanya adalah kita cenderung ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar hanya karena terbawa emosi atau ikut-ikutan.
Untuk itu, umat Islam perlu memiliki strategi konkret agar tidak terjebak dalam pusaran fitnah:
1. Berpikir sebelum memposting: Apakah informasi ini benar, bermanfaat, dan tidak menyakiti?
2. Lakukan tabayyun: Periksa kebenaran sumber dan jangan asal forward.
3. Jaga emosi dalam debat daring: Hindari debat kusir yang bisa menjatuhkan martabat.
4. Tingkatkan literasi digital dan keislaman: Agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi menyesatkan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kata yang tidak dipikirkannya, lalu ia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari jarak timur dan barat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Menjaga lisan di era digital adalah jihad kontemporer. Ia membutuhkan kesabaran, ilmu, dan kesadaran akan dampak setiap ucapan kita. Jika setiap muslim menjaganya, maka fitnah pun akan kehilangan ruang.
