Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Sejarah Pengorbanan Nabi Ismail: Awal Mula Disyariatkannya Idul Adha

Kisah pengorbanan Nabi Ismail ‘alaihis salam adalah salah satu momen paling menggetarkan dalam sejarah umat manusia, dan menjadi pondasi lahirnya syariat penyembelihan hewan qurban yang diperingati setiap Idul Adha. Peristiwa ini bukan hanya menyoal hubungan antara ayah dan anak, tetapi juga tentang ketaatan mutlak kepada perintah Allah.

Kisah ini bermula dari mimpi yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Dalam mimpi tersebut, beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya yang sangat dicintainya, Ismail. Sebagai seorang nabi, Ibrahim memahami bahwa mimpi itu adalah wahyu dan bukan sekadar bunga tidur. Namun sebagai seorang ayah, tentu ini menjadi ujian berat yang tak terbayangkan.

Namun yang luar biasa, bukan hanya Nabi Ibrahim yang taat, tetapi Nabi Ismail juga menunjukkan sikap luar biasa. Ketika ayahnya menyampaikan perintah tersebut, Nabi Ismail dengan tenang menjawab bahwa ia siap untuk menjalani perintah Allah. Hal ini tercatat dalam Al-Qur’an, Surah Ash-Shaffat ayat 102:
“Wahai ayahku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Ayat ini menggambarkan dua karakter besar dalam satu keluarga: seorang ayah yang patuh dan seorang anak yang ikhlas. Saat proses penyembelihan akan dilakukan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar. Perintah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyembelih secara literal, tetapi sebagai ujian untuk membuktikan sejauh mana ketaatan dan keikhlasan hamba-Nya terhadap perintah yang sangat berat.

Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam sejarah spiritual umat manusia. Dari situlah, Allah menetapkan ibadah qurban sebagai bagian dari syariat Islam. Setiap tahun, umat Muslim di seluruh dunia menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan bentuk penghormatan terhadap pengorbanan agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Idul Adha bukan sekadar momen berbagi daging, tetapi lebih dari itu adalah refleksi spiritual yang dalam. Kita diingatkan untuk bersedia “menyembelih” ego, hawa nafsu, dan keinginan pribadi demi menjalankan kehendak Allah. Qurban menjadi simbol nyata dari penundukan diri kepada Sang Pencipta.

Dalam konteks sosial, semangat qurban juga menjadi pengingat untuk berbagi dan peduli terhadap sesama. Sebab daging hewan qurban dibagikan kepada fakir miskin dan yang membutuhkan, mencerminkan ajaran Islam yang adil, inklusif, dan penuh kasih sayang. Maka pengorbanan Nabi Ismail tidak hanya berdampak secara spiritual, tetapi juga sosial.

Banyak ulama menekankan bahwa makna terdalam dari kisah ini bukan pada darah atau daging hewan yang disembelih, tetapi pada niat dan ketakwaan. Seperti yang disebutkan dalam QS Al-Hajj ayat 37:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

Kisah ini juga mengajarkan bahwa dalam hidup, ujian adalah keniscayaan. Bahkan seorang nabi seperti Ibrahim dan anaknya pun diuji dengan sesuatu yang sangat berat. Namun di balik ujian, selalu ada hikmah dan pengangkatan derajat bagi mereka yang lulus dengan sabar dan ikhlas.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Secara simbolik, kita semua adalah Ibrahim yang diuji dengan berbagai bentuk cinta dunia: harta, jabatan, keluarga, bahkan nyawa. Dan kita semua juga bisa menjadi Ismail yang siap untuk menyerahkan segala yang kita miliki demi keridaan Allah. Maka ibadah qurban bukan hanya seremoni tahunan, tetapi latihan spiritual yang menuntut kontinuitas dalam hidup sehari-hari.

Lebih jauh lagi, semangat pengorbanan ini juga sangat relevan dalam konteks modern. Di zaman yang penuh kompetisi dan materialisme, kita sering terlalu terikat dengan kesenangan duniawi. Padahal, ruh dari kisah Nabi Ismail mengajarkan pentingnya melepaskan keterikatan terhadap hal-hal dunia yang bisa menghalangi hubungan kita dengan Allah.

Sebagai penutup, sejarah pengorbanan Nabi Ismail adalah kisah tentang cinta—cinta kepada Allah yang mengalahkan cinta terhadap anak, cinta terhadap dunia, dan cinta terhadap diri sendiri. Dari kisah ini, kita belajar bahwa kepatuhan dan pengorbanan adalah kunci menuju kedekatan dengan Tuhan. Idul Adha menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan kembali sejauh mana kita siap mengorbankan ego demi kebenaran dan nilai-nilai luhur dalam hidup.

Robby Karman
Written By

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Pentingnya Rukun Iman dalam Kehidupan Sehari-Hari Dalam ajaran Islam, Rukun Iman merupakan dasar keyakinan yang harus dipahami dan diamalkan oleh setiap umat Muslim. Rukun...