Banyak orang mencari ketenangan hati melalui harta, jabatan, atau pengakuan sosial, tapi justru semakin dikejar, dunia makin menjauhkan mereka dari kedamaian yang sesungguhnya. Dalam Islam, ketenangan hati justru lahir saat seseorang mampu melepas keterikatan terhadap dunia—itulah esensi dari melepaskan hubbu dunya.
Cinta dunia yang berlebihan adalah penyebab utama kegelisahan. Semakin kuat seseorang melekat pada kenikmatan duniawi, semakin takut pula ia kehilangannya. Rasa cemas, iri, dan gelisah akan terus menghantui hati yang terikat pada sesuatu yang fana dan tak pasti. Sebaliknya, hati yang berserah kepada Allah dan tidak bergantung pada dunia akan lebih tenang dan stabil.
Melepas cinta dunia bukan berarti menjadi pasif atau meninggalkan kehidupan. Justru, Islam mengajarkan agar umatnya aktif berkarya dan berkontribusi, namun tanpa menjadikan dunia sebagai pusat hidup. Dunia adalah sarana, bukan tujuan. Ketika niat diluruskan untuk mencari ridha Allah, bahkan bekerja dan membangun kehidupan dunia bisa bernilai ibadah.
Langkah pertama untuk melepaskan cinta dunia adalah menyadari hakikat dunia itu sendiri: sementara, terbatas, dan penuh ujian. Al-Qur’an berulang kali menggambarkan dunia sebagai permainan dan senda gurau, dibandingkan dengan akhirat yang kekal. Menyadari hal ini akan membuat kita lebih bijak dalam menempatkan prioritas hidup.
Hati yang tenang lahir dari ketawakkalan—yaitu percaya penuh pada kehendak Allah, setelah berusaha maksimal. Ia tidak panik kehilangan harta, tidak iri terhadap orang lain, dan tidak gila pujian. Ia cukup, karena tahu bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan saat hati dekat dengan Allah, bukan ketika dompet tebal atau jabatan tinggi.
