Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Sabar: Mahkota Kemuliaan dan Pilar Kekuatan Jiwa

Kekuatan sejati ada pada ketangguhan jiwa dan sabar. Sabar, bukan pasif, tapi tindakan aktif mengendalikan diri dalam taat, hindari maksiat, dan hadapi musibah. Kunci hidup tenang.

RuangSujud.com – Pernahkah terlintas di benak kita, apakah sejatinya kekuatan itu? Bukanlah mereka yang berbadan kekar, tangkas bergulat, atau pintar bersilat. Hakikat kekuatan sejati justru terletak pada ketangguhan jiwa. Jiwa yang kuat adalah pelita yang mampu membimbing hati, pikiran, dan raga untuk tegar menghadapi badai kehidupan. Sebaliknya, jiwa yang rapuh akan mudah terjerumus dalam jurang keputusasaan, kemalasan, dan prasangka negatif yang merusak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang menguasai jiwanya ketika marah.” Sebuah pengingat yang begitu mendalam, bahwa kendali atas diri, terutama dalam gejolak emosi, adalah puncak dari sebuah kekuatan.

Kemampuan agung untuk menguasai dan mengendalikan jiwa inilah yang kita kenal sebagai sabar. Berakar dari bahasa Arab ‘shobaro’ yang berarti menahan atau mencegah, sabar dalam istilah keagamaan dimaknai sebagai kemampuan jiwa untuk menahan diri dari kegundahan dan emosi yang meluap, menahan lisan dari keluh kesah, serta mengendalikan anggota tubuh dari perbuatan yang sia-sia. Dari definisi ini saja, jelaslah bahwa sabar bukanlah simbol kepasrahan yang pasif, ketidakberdayaan, atau apatis terhadap cobaan. Justru, sabar adalah sebuah perintah untuk bertindak aktif dan positif, mentransformasi pandangan jiwa agar senantiasa berorientasi pada kebaikan di setiap situasi.

Sabar bukanlah sifat yang mudah dimiliki, melainkan sebuah mahkota kemuliaan yang hanya dapat bertengger kokoh dalam diri orang-orang beriman. Mereka yang jiwanya terikat kuat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memandang setiap musibah sebagai teguran atau ujian dari-Nya, bukan untuk menyalahkan siapa pun, melainkan sebagai bentuk perhatian Ilahi yang mendorong mereka untuk berbuat lebih baik. Oleh karena itu, Imam al-Ghazali menyebut sabar sebagai “ruang di antara ruang-ruang agama yang tinggi” yang tidak akan tertanam kecuali pada orang yang mengenal Allah. Allah SWT juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu.” (QS. Ali Imran: 200). Ayat ini menegaskan bahwa sabar adalah bagian tak terpisahkan dari iman, bahkan “syathrul iman” (separuh iman), yang berarti kesempurnaan iman belum tercapai tanpa kesabaran.

Dalam ajaran Islam, sabar terbagi menjadi tiga pilar utama: sabar dalam menaati perintah Allah, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi ujian atau musibah dari Allah. Pilar pertama, sabar dalam ketaatan, seringkali menjadi yang terberat. Ia menuntut kesabaran dari niat, saat menjalankan ibadah agar hati tak berpaling dari-Nya, hingga setelah ibadah usai, menjaga diri dari riya’ atau keinginan dipuji orang lain. Imam al-Ghazali mengingatkan, serangan riya’ dapat mengoyak pertahanan iman dan membuat ibadah sia-sia jika kita tidak bersabar menahannya, menjadikan ibadah hanya untuk selain Allah.

Adapun sabar terhadap musibah, inilah aspek kesabaran yang paling sering kita dengar dan nasehatkan. Kisah seorang wanita yang menangis pilu di sisi kubur, lalu ditegur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dengan sabda, “Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama” (HR. Bukhari Muslim), adalah pelajaran berharga. Ia mengajarkan bahwa sabar sejati adalah ketabahan pada saat pertama kali musibah itu datang menghantam, bukan setelah gejolak emosi mereda. Pilar sabar ini diperkuat oleh tauhid yang kokoh; seseorang yang menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah tidak akan mudah goyah, karena sandarannya adalah Yang Maha Segalanya, bukan materi yang fana dan tak berdaya.

Lantas, bagaimana kita dapat memupuk sifat sabar yang mulia ini? Imam al-Ghazali menasihati untuk senantiasa melatih diri atau *riyadhah*, dimulai dengan merenungkan hakikat kehidupan dunia dan tujuan akhir kita setelahnya. *Mujahadah* atau perjuangan melawan hawa nafsu dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti menahan keinginan akan makanan atau pakaian mahal, serta menghancurkan sifat malas. Ketika rasa malas menyerang, bangkitlah, ambil wudhu, dirikan shalat dua rakaat, dan mulailah beraktivitas dengan semangat baru. Ingatlah selalu janji Allah, “Bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46). Dengan sabar, hidup akan menjadi lebih tenang, dinamis positif, dan setiap realitas akan selalu dipandang melalui kacamata iman yang jernih.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...