RuangSujud.com – Pernahkah hati kita merenung, di balik setiap takdir dan anugerah yang terhampar, ada hikmah dan keindahan yang terkadang luput dari pandangan? Di tengah hiruk pikuk kehidupan, seringkali kita terlena oleh keluh kesah, hingga lupa bahwa kebahagiaan sejati bersemi dari pangkal syukur, sebuah perasaan tulus yang mengikat hati kepada Sang Pencipta. Kisah inspiratif yang dituturkan dari para ulama dan bijak bestari ini mengundang kita untuk menyelami kedalaman makna syukur, melalui dialog menakjubkan antara Malaikat Jibril as. dengan beberapa makhluk ciptaan Allah SWT.
Dikisahkan, suatu ketika Malaikat Jibril as. diutus Allah untuk bertanya kepada kerbau yang sedang berenang di sungai di bawah teriknya matahari, ‘Wahai Kerbau, adakah engkau berbahagia dengan keberadaanmu?’ Dengan penuh rasa syukur, kerbau menjawab, ‘Masya Allah, Alhamdulillah, saya sangat bahagia diciptakan begini. Saya bisa berendam sejuk di air sungai, jauh lebih baik daripada menjadi kelelawar yang konon mandi dengan air kencingnya sendiri.’ Jawaban ini membuka mata kita betapa setiap makhluk punya cara pandang sendiri dalam mensyukuri nikmat. Begitu pula saat Jibril bertanya kepada kelelawar, makhluk malam ini bersyukur bisa terbang bebas dengan sayapnya, menganggapnya lebih mulia dari cacing yang hanya merayap di tanah.
Puncaknya, ketika Jibril as. menghampiri seekor cacing dan menanyakan hal serupa, jawaban sang cacing sungguh menggugah jiwa. ‘Masya Allah, Alhamdulillah, saya sungguh senang dan bahagia diciptakan sebagai cacing,’ ujarnya. ‘Daripada menjadi seorang manusia, yang jika tidak memiliki iman sempurna dan tidak beramal saleh, kelak ketika mati akan disiksa di akhirat selama-lamanya.’ Ucapan sang cacing ini menyentak, mengingatkan kita bahwa derajat tertinggi manusia ada pada iman dan takwanya, bukan sekadar bentuk fisiknya. Ia menjadi cerminan bahwa kebahagiaan sejati tidaklah terletak pada kemegahan duniawi, melainkan pada keselamatan di hadapan Ilahi.
Kisah sederhana ini membawa kita pada sebuah introspeksi mendalam. Betapa seringnya kita lupa akan limpahan nikmat tak terhingga yang Allah anugerahkan. Nikmat iman yang membimbing, nikmat sehat yang memungkinkan kita beribadah, nikmat kehidupan yang memberi kesempatan beramal saleh—semuanya adalah karunia agung yang tak ternilai. Namun, seringkali hati ini lalai, terjebak dalam keluh kesah dan membanding-bandingkan diri, hingga lupa bahwa hakikat syukur adalah merasakan kebahagiaan atas setiap pemberian, menjadikannya jembatan ketaatan, serta tak henti melantunkan puji-pujian kepada Ilahi Rabbi, baik dengan lisan maupun hati.
Maka, mari kita bingkai setiap detik kehidupan dengan untaian syukur yang tulus. Ketika Allah menganugerahkan keturunan, ‘Alhamdulillah’, sebuah amanah mulia. Namun, bagi yang belum dikaruniai, tetaplah bersyukur dengan keyakinan, ‘Masya Allah, Alhamdulillah, saya memiliki lebih banyak waktu dan tenaga untuk berbakti kepada orang tua atau membantu saudara yang membutuhkan.’ Begitu pula bagi yang belum menemukan jodoh, ‘Masya Allah, Alhamdulillah, saya bisa lebih fokus mempersiapkan diri, mendalami ilmu agama, dan berkhidmat kepada keluarga, sebagai bekal menyongsong kehidupan berkeluarga yang diberkahi kelak.’ Setiap kondisi adalah ladang pahala jika kita menanamkan rasa syukur yang tulus.
Pada akhirnya, renungan kisah ini menggugah kita untuk bertanya: Apakah kebahagiaan kita datang karena kita bersyukur, ataukah kita baru bersyukur setelah merasa bahagia? Sesungguhnya, kebahagiaan hakiki berakar dari syukur yang mendahului. Ia adalah kunci ketenangan hati dan pintu gerbang keberkahan yang tak bertepi. Semoga Allah SWT senantiasa menuntun hati kita untuk selalu bersyukur, dan melindungi kita dari kelalaian akan nikmat-Nya. Kita memohon perlindungan-Nya: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat (yang telah Engkau berikan), dari siksa-Mu yang mendadak, dari berubahnya kesehatan (yang Engkau anugerahkan) dan dari setiap kemurkaan-Mu.’ (HR. Muslim).

























