Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Hikmah Tamu Nabi Ibrahim: Perspektif Al-Qur’an dan Alkitab

Kisah tamu istimewa Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an dan Alkitab mengungkap perbedaan identitas tamu (malaikat vs. Tuhan) dan penggambaran sifat Allah. Mengajarkan keteladanan dan iman.

RuangSujud.com – Idul Adha baru saja berlalu, mengukir kembali kisah keteladanan Nabi Ibrahim alaihis salam yang tak lekang oleh zaman. Dari ibadah kurban hingga haji, beliau adalah mercusuar keimanan yang mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, ada satu episode dalam hidup beliau yang kaya hikmah dan seringkali menjadi bahan renungan mendalam dalam berbagai kitab suci: kisah para tamu istimewa yang berkunjung ke rumahnya. Episode ini mengajak kita menelisik lebih jauh tentang keagungan Allah dan perbedaan perspektif dalam narasi keagamaan.

Al-Qur’an dengan keagungan bahasanya, mengisahkan kedatangan tamu-tamu tak dikenal itu kepada Nabi Ibrahim alaihis salam dalam Surat Adz-Dzariyat, Hud, dan Al-Hijr. Dengan kemuliaan akhlaknya, Nabi Ibrahim segera menyuguhkan hidangan istimewa berupa daging anak sapi yang gemuk. Namun, keheranan menyelimuti beliau saat para tamu itu tidak menyentuh hidangan. Akhirnya, rahasia terkuak: mereka adalah para malaikat utusan Allah, datang membawa kabar gembira kelahiran Ishaq alaihis salam yang tak terduga di usia senja, sekaligus misi ilahi untuk kaum Nabi Luth alaihis salam yang tersesat. Ini menunjukkan kekuasaan Allah yang tiada batas dan peran malaikat sebagai pembawa risalah.

Kisah serupa tentang tamu-tamu Nabi Ibrahim ini juga dapat kita temukan dalam narasi Alkitab, khususnya Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama. Sebagai Muslim, kita memiliki landasan yang jelas dalam menyikapi narasi-narasi lintas kitab suci: jika sejalan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang sahih, kita terima; jika bertentangan, kita tolak; dan jika di luar keduanya, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui (Wallahu a’lam). Prinsip ini lahir dari keyakinan mendalam akan kemuliaan dan kesucian Allah Subhanahu wa Ta’ala serta para nabi-Nya yang digambarkan Al-Qur’an dengan seindah-indahnya, sebagaimana seharusnya.

Salah satu perbedaan mendasar yang paling menonjol terletak pada identitas para tamu. Dalam Al-Qur’an dan penjelasan para mufasir, sangat terang bahwa mereka adalah malaikat, hamba-hamba Allah yang mulia. Namun, dalam Alkitab, beberapa ayat mengindikasikan bahwa salah satu dari tamu tersebut adalah ‘Tuhan’ itu sendiri, atau bahkan ketiga tamu tersebut melambangkan ‘ketuhanan yang tritunggal’, sebuah konsep yang dikenal sebagai teofani. Bagi umat Islam, keyakinan akan Allah yang Maha Transenden, tak serupa dengan makhluk-Nya, menjadikan konsep teofani ini tertolak. Meskipun kita meyakini bahwa kelak di surga, umat beriman akan mendapatkan nikmat tertinggi berupa memandang wajah Allah, namun di dunia ini, Allah tidak dapat dilihat dalam wujud materi atau menyerupai makhluk.

Perbedaan ini meluas pada penggambaran sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an senantiasa melukiskan Allah sebagai Dzat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana, dan Maha Berkuasa, yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu tanpa batas. Kontrasnya, Alkitab kadang menampilkan gambaran yang mengisyaratkan ‘dialog’ atau ‘pemikiran’ dari Tuhan, seperti ketika ‘Tuhan’ bertanya mengapa Sarah tertawa atau ‘berpikir’ sebelum menghukum kaum Nabi Luth alaihis salam. Bahkan, ada narasi tentang Allah yang ‘beristirahat’ setelah menciptakan alam semesta, atau ‘menyesali’ ciptaan-Nya. Al-Qur’an dengan tegas menepis gambaran-gambaran ini, menyatakan bahwa Allah tidak sedikit pun ditimpa keletihan dan tidak pernah menyesali ketetapan-Nya, menegaskan kesempurnaan sifat-sifat-Nya yang mutlak.

Kisah Nabi Ibrahim alaihis salam dan para tamunya ini, terlepas dari perbedaan narasi, tetap mengandung hikmah yang mendalam bagi kita. Ia menginspirasi kita untuk meneladani kemuliaan akhlak Nabi Ibrahim dalam melayani tamu, mengajarkan kesabaran dalam menanti janji Allah, dan keyakinan teguh akan kekuasaan-Nya yang tak terbatas dalam menganugerahkan keturunan. Lebih dari itu, ia mendorong kita untuk senantiasa merenungi keagungan dan kesempurnaan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang terangkum indah dalam Al-Qur’an. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran dari setiap ayat dan kisah, menguatkan iman, dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...