RuangSujud.com – Ketika mendengar kata ‘adab’, kebanyakan dari kita mungkin sekadar membayangkan sopan santun atau etika dalam pergaulan sehari-hari. Sebuah perilaku baik yang tampak di permukaan. Namun, tahukah kita bahwa adab dalam khazanah Islam memiliki makna yang jauh lebih mendalam dan kedudukan yang amat istimewa? Ia bukan hanya sekadar tingkah laku lahiriah, melainkan cerminan aktivitas jiwa dan akal budi yang suci, bahkan menjadi kunci bagi kesejahteraan umat. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Prof. Syed Naquib al-Attas, krisis yang melanda umat Islam modern ini seringkali berakar pada ‘hilangnya adab’ yang sesungguhnya.
Para ulama terdahulu begitu memahami urgensi adab ini, bahkan menempatkannya lebih dahulu daripada ilmu itu sendiri. Kisah-kisah bijak mengalir dari mereka, menegaskan betapa prioritas adab dalam mendidik jiwa. Abdurrahman bin al-Qosim, salah satu murid utama Imam Malik radhiallahu ‘anhu, pernah menuturkan, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun. Dua tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun aku belajar adab.” Beliau bahkan berharap seandainya seluruh waktunya itu dihabiskan untuk belajar adab. Imam Malik sendiri pernah menasihati Imam Syafi’i radhiallahu ‘anhuma dengan petuah abadi, “Wahai Muhammad, jadikanlah ilmumu sebagai garam dan adabmu sebagai tepung,” sebuah perumpamaan yang menujukkan adab adalah pondasi yang jauh lebih besar dan esensial dari ilmu itu sendiri.
Tidak heran jika banyak karya monumental para ulama agung didedikasikan khusus untuk membahas adab. Dari Imam al-Zarnuji dengan kitab fenomenalnya “Ta’lim al-Muta’allim Thoriq al-Ta’lim”, Imam al-Bukhari yang mengumpulkan hadis-hadis dalam “Adabul Mufrad”, hingga Imam al-Ghazali yang menulis “Kitabul Adab”. Bahkan, warisan keilmuan ini sampai ke Nusantara, sebagaimana yang diwujudkan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dengan karyanya “Adabul ‘Alim wal Muta’allim”. Semua ini menunjukkan bahwa adab adalah fondasi tak tergantikan dalam membangun karakter seorang Muslim sejati, baik bagi penuntut ilmu, pelajar, maupun para salik yang menapaki jalan spiritual.
Lalu, mengapa adab begitu penting hingga para ulama salaf menaruh perhatian sedemikian rupa? Sebuah hadis riwayat Imam Muslim memberikan pencerahan yang gamblang. Dikisahkan, ada seorang wanita yang dikenal rajin shalat, puasa, dan bersedekah, namun lidahnya sering menyakiti tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.” Sebaliknya, ada wanita lain yang ibadahnya sedikit, namun tidak pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ia termasuk ahli Surga.” Hadis ini menjadi pengingat yang menghunjam, bahwa amal ibadah yang melimpah tak akan bermakna tanpa adab yang mulia. Jiwa yang bersih, meski amalnya tak sebanyak yang lain, bisa menjadi penentu kebahagiaan abadi.
Imam al-Ghazali رحمه الله merangkum dengan indah korelasi kuat antara tauhid, iman, syariat, dan adab. Beliau menegaskan bahwa tauhid menuntut adanya keimanan, keimanan menuntut pengamalan syariah, dan syariah menuntut adanya adab. Maka, barang siapa yang tidak beradab, ia tidaklah mengamalkan syariah, tidak beriman, dan tauhidnya pun belum sempurna. Adab yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali meliputi adab dzahir (lahiriah) dan adab batin (bathiniah). Adab dzahir adalah mengamalkan sunnah Rasulullah ﷺ dan ajaran agama, yang melahirkan cahaya makrifat di hati. Sementara adab batin adalah menjaga hati dari liarnya hawa nafsu, yang akarnya terletak pada tiga trilogi cinta dunia yang mematikan: cinta kedudukan, cinta harta, dan cinta dunia itu sendiri. Inilah racun yang dapat menyesatkan akidah seorang Muslim.
Sungguh, apa yang diungkapkan oleh Imam al-Ghazali ini sejalan dengan pesan Ibnul Mubarak yang masyhur: “Barang siapa meremehkan adab, maka ia dihukum dengan terhalang mengamalkan sunnah. Barang siapa meremehkan sunnah, ia dihukum terhalang melaksanakan kewajiban. Dan barang siapa meremehkan kewajiban, maka ia dihukum terhalang dari makrifah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.” Sebuah urutan yang menunjukkan betapa adab adalah gerbang utama menuju kebaikan dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Menguasai adab, terutama adab batin, adalah mengenali dan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, termasuk menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Dengan demikian, kita terhindar dari kezaliman, kebodohan, dan hawa nafsu yang merusak, serta menjadi pribadi Muslim yang sejati dan berakhlak mulia.


























