RuangSujud.com – Dalam setiap detak nadi seorang Mukmin, tersemat fitrah untuk berbagi, untuk merasakan kebahagiaan saat memberi. Harta yang kita genggam sejatinya adalah amanah, titipan Illahi yang di dalamnya tersimpan potensi pahala tak terhingga. Ia bukan hanya sekadar angka, melainkan ladang amal yang jika ditabur dengan keikhlasan, akan tumbuh menjulang tinggi hingga ke langit, melampaui batas imajinasi manusia.
Allah SWT, dengan kemurahan-Nya yang tak terbatas, telah mengabadikan janji indah bagi para dermawan dalam firman-Nya, Surah Al-Baqarah ayat 261: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” Ayat mulia ini tidak hanya teori, melainkan telah dicontohkan dengan sempurna oleh generasi terbaik umat ini. Siapa yang tak kenal Sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhuma, dua sosok yang berinfak dengan jiwa dan raga mereka, menorehkan tinta emas dalam sejarah kebaikan?
Kisah keberanian Sayyidina Utsman saat Perang Tabuk, di mana beliau menanggung seluruh logistik perang dengan seribu unta beserta perlengkapannya, hingga mewakafkan sumur rumahnya demi kemaslahatan umat, adalah bukti nyata keutamaan infak. Demikian pula Abdurrahman bin Auf, yang dengan tulus menyedekahkan separuh hartanya di jalan Allah. Frasa ‘fi sabilillah’ sendiri mengandung makna yang sangat luas; tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik, tetapi juga mencakup segala bentuk ketaatan kepada Allah, seperti membangun masjid, pesantren, membantu fakir miskin, yatim piatu, memberi beasiswa, hingga menolong kerabat dan tetangga. Setiap amalan kebaikan yang diniatkan murni karena Allah akan dilipatgandakan pahalanya, bahkan hingga 700 kali lipat atau lebih, sesuai kehendak-Nya yang Maha Agung.
Namun, keagungan pahala ini tidak datang tanpa syarat. Allah SWT dalam ayat berikutnya, Surah Al-Baqarah 262, mengingatkan kita akan dua penghalang utama yang dapat menghapus pahala infak: *al-mann* (menyebut-nyebut kebaikan) dan *al-adha* (menyakiti perasaan penerima). Infak yang diniatkan karena mengharap rida Allah, sejatinya adalah ibadah yang tulus, tanpa ada keinginan untuk dihormati, dipuji, apalagi mengungkit-ungkit pemberian. Mengingatkan orang akan sedekah kita, atau melukai perasaannya dengan perkataan yang kasar, sama saja dengan merusak kemuliaan amal itu sendiri, menjadikannya hampa di sisi Allah.
Sikap mulia seorang Muslim adalah memberi dengan tangan kanan, seolah tangan kiri tak mengetahui. Bahkan, perkataan yang baik dan pemberian maaf atas kekurangan orang yang meminta, jauh lebih baik daripada sedekah yang diikuti dengan tindakan menyakiti, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah 263. Senyum ramah dan ucapan yang menenangkan adalah sedekah tanpa harta, yang dapat meluluhkan hati dan memuliakan sesama. Ingatlah, riwayat hadis menyebutkan bagaimana malaikat pun kadang menyamar untuk menguji kelembutan hati kita. Maka, berlemah lembutlah, dan hindarilah riya’ (pamer) dalam berinfak, karena infak yang diiringi riya’ atau tidak disertai iman, bagaikan debu di atas batu licin yang tersapu hujan deras, tak meninggalkan jejak manfaat di akhirat.
Wahai saudaraku, mari kita jadikan setiap infak sebagai jembatan menuju keridaan Allah, sebuah investasi akhirat yang takkan pernah rugi. Sucikan niat, berilah dengan ketulusan hati, tanpa mengharap balasan maupun pujian dari manusia. Biarlah hanya Allah yang menjadi saksi atas setiap tetesan kebaikan yang kita curahkan. Dengan demikian, insya Allah, pahala berlipat ganda itu akan menjadi bekal terindah kita di hari perhitungan kelak, menerangi jalan kita menuju jannah-Nya yang abadi.

























