Salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah Islam yang menguji keteguhan ulama adalah Fitnah Khalq al-Qur’an, dan di tengah badai fitnah itu berdirilah sosok agung — Imam Ahmad bin Hanbal. Ia menjadi simbol keberanian, kesabaran, dan keteguhan dalam mempertahankan kebenaran meskipun harus disiksa oleh penguasa yang zalim.
Fitnah ini bermula ketika Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah terpengaruh oleh pemikiran kelompok Mu’tazilah, yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (ciptaan Allah), bukan kalamullah yang azali. Doktrin ini kemudian dijadikan kebijakan negara, dan semua ulama diwajibkan mengakuinya. Siapa pun yang menolak dianggap memberontak terhadap pemerintah.
Banyak ulama pada masa itu takut dan terpaksa mengiyakan perintah khalifah. Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menolak. Ia berpegang teguh pada keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang kekal, bukan makhluk. Ia berkata dengan tenang namun tegas,
“Bagaimana mungkin aku mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikatakan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya?”
Sikapnya membuat Al-Ma’mun murka. Imam Ahmad ditangkap, dibelenggu, dan dibawa dari Baghdad menuju ke hadapan khalifah. Namun, sebelum sampai, Al-Ma’mun meninggal dunia. Meski begitu, fitnah belum berakhir. Khalifah berikutnya, Al-Mu’tashim, melanjutkan kebijakan itu dan memerintahkan agar Imam Ahmad tetap diadili dan disiksa agar mau mengakuinya.
Dalam penjara, Imam Ahmad mengalami siksaan yang berat. Punggungnya dipukul dengan cambuk hingga berdarah, namun ia tetap tidak mengubah pendiriannya. Ia hanya mengucapkan,
“Aku tidak bisa berkata bahwa Kitabullah adalah makhluk.”
Ketika ada penjaga yang merasa iba kepadanya, Imam Ahmad berkata,
“Jika kalian melihat aku menyerah, maka ketahuilah bahwa aku telah berdusta kepada Allah.”
Keteguhannya membuat para ulama dan umat Islam di seluruh negeri terinspirasi. Mereka melihat bahwa kebenaran bisa bertahan walau di bawah tekanan kekuasaan. Ujian itu berlangsung bertahun-tahun hingga akhirnya Khalifah Al-Mutawakkil naik takhta dan menghentikan fitnah tersebut. Imam Ahmad pun dibebaskan dengan penuh kehormatan.
Setelah bebas, ia tidak menyimpan dendam kepada siapa pun. Ia justru mendoakan para penguasa yang pernah menindasnya. Ketika ditanya mengapa, beliau menjawab,
“Bagaimana aku tidak mendoakan mereka, sementara umat Islam hidup dalam kekuasaan mereka?”
Kisah Fitnah Khalq al-Qur’an menjadi bukti nyata bahwa kekuatan iman lebih besar daripada tekanan politik. Imam Ahmad mengajarkan bahwa seorang ulama sejati tidak tunduk kepada penguasa, tapi hanya kepada kebenaran yang datang dari Allah.
Karena keteguhannya ini, umat Islam menjulukinya sebagai “Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah”, pelindung akidah Islam dari penyimpangan rasionalisme ekstrem.
Dari kisah Imam Ahmad, kita belajar bahwa mempertahankan kebenaran memang berat, tapi lebih mulia daripada hidup dengan kebohongan. Ia adalah teladan abadi bahwa iman sejati diuji bukan di masa tenang, tapi di tengah badai fitnah.
