Monitorday.com – Kisah Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah adalah kisah inspiratif tentang bagaimana seorang pedagang biasa berubah menjadi salah satu ulama terbesar dalam sejarah Islam. Ia menunjukkan bahwa ilmu dan ketulusan bisa mengangkat derajat seseorang jauh di atas kekayaan dan kedudukan dunia.
Abu Hanifah lahir di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah. Kota ini dikenal sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di masa itu, tempat berkumpulnya para ulama, ahli hadis, dan cendekiawan dari berbagai wilayah. Meski tumbuh di lingkungan yang ilmiah, Abu Hanifah awalnya tidak menempuh jalan keulamaan. Ia lebih memilih menjadi pedagang kain sutra, profesi yang dijalankan dengan jujur dan penuh integritas.
Namun, takdir mengubah arah hidupnya ketika ia bertemu dengan ulama besar bernama Sya’bi. Suatu hari, Sya’bi melihat kecerdasan Abu Hanifah dalam berdiskusi dan berkata kepadanya, “Wahai anak muda, aku melihat padamu tanda-tanda kecerdasan. Alangkah baiknya jika engkau menekuni ilmu agama.” Kata-kata itu menggugah hatinya dan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sejak saat itu, Abu Hanifah mulai serius menuntut ilmu. Ia belajar kepada banyak guru terkemuka di Kufah, Basrah, hingga Makkah. Salah satu gurunya yang paling berpengaruh adalah Hammad bin Abi Sulaiman, seorang ahli fikih terkenal. Selama hampir dua dekade, Abu Hanifah belajar di bawah bimbingannya sebelum akhirnya menggantikan gurunya sebagai pengajar di Kufah.
Abu Hanifah dikenal memiliki kecerdasan luar biasa dan ketajaman berpikir yang jarang dimiliki orang lain. Ia tidak hanya menghafal dalil, tetapi juga memahami makna dan konteksnya dengan sangat mendalam. Ia mengembangkan metode ijtihad berdasarkan qiyas (analogi) dan istihsan (memilih hukum terbaik untuk kemaslahatan), yang kelak menjadi ciri khas mazhab Hanafi.
Selain ilmunya yang luas, Abu Hanifah juga dikenal dengan keteguhan moralnya. Ia menolak menerima jabatan hakim dari khalifah, karena khawatir akan terpengaruh oleh kepentingan politik. Pilihan itu membuatnya harus menerima risiko dipenjara, namun ia tetap sabar dan istiqamah dalam mempertahankan prinsipnya.
Yang menarik, meskipun sibuk mengajar dan berdakwah, Abu Hanifah tetap menjalankan perdagangannya. Ia mengajarkan bahwa menjadi ulama tidak berarti meninggalkan dunia, tapi menjadikannya sebagai sarana untuk berbuat baik dan menegakkan keadilan. Dalam setiap transaksi, ia selalu menekankan kejujuran, amanah, dan tidak mengambil keuntungan berlebihan.
Dari seorang pedagang kain biasa, Abu Hanifah menjadi seorang Imam Agung yang ilmunya diikuti oleh jutaan umat Islam di berbagai belahan dunia. Ia adalah bukti nyata bahwa perjalanan menuju kemuliaan dimulai dari niat yang tulus dan kerja keras yang konsisten.
Perjalanan hidup Abu Hanifah mengajarkan kita bahwa ilmu tidak hanya untuk dipelajari, tetapi untuk diamalkan. Dengan ilmu yang benar, seseorang bisa mengubah hidupnya — bahkan mengubah arah sejarah.
