Monitorday.com – Konsep “mahabbah” atau cinta dalam terminologi Islam memiliki kedalaman makna yang luas dan telah menjadi objek kajian mendalam para ulama terkemuka. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, melalui kitabnya “Raudhatul Muhibbiin wa Nuzhatul Musytaaqiin,” mengidentifikasi hingga puluhan varian makna dari kata tersebut, menyoroti kompleksitas emosi universal ini.
Makna “mahabbah” melampaui sekadar perasaan romantis, berpusat pada kecintaan hakiki kepada Allah SWT sebagai puncak tertinggi. Dari fondasi ini, ajaran Islam menekankan pentingnya membangun ikatan pertemanan yang didasari atas ketaatan kepada Tuhan, sebagaimana disyaratkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 165 dan janji naungan Allah di Hari Kiamat bagi mereka yang berteman karena-Nya.
Ibnu Qayyim al-Jauzi menjelaskan bahwa makna mahabbah, diambil dari kata *al-habab*, yaitu air yang meluap setelah hujan lebat, atau ungkapan orang Arab *hababal asnaan*, gigi putih bersih.
“Jika semuanya dipadukan, maka yang disebut mahabbah itu adalah luapan hati yang membuat seseorang merasa damai untuk mengharapkan sesuatu yang diinginkannya dan ia tidak dapat berpaling darinya.”
Dalam kerangka pertemanan Islami, kualitas interaksi sangat ditekankan. Para ulama dan cendekia terdahulu menggarisbawahi pentingnya memilih teman dengan kebijaksanaan, mengakui ketidaksempurnaan manusia.
“Siapa yang ingin mencari teman yang sempurna … Maka tidak akan ada di dunia ini yang bisa menjadi temannya.”
Keseimbangan dalam berinteraksi juga sangat penting, termasuk dalam frekuensi pertemuan agar tidak menimbulkan kebosanan.
“Hendaklah engkau sesekali melakukan kunjungan … Jika terlampau sering pun dapat menimbulkan keresahan.”
Pemahaman mendalam tentang “mahabbah” dan praktik persahabatan yang ideal ini diharapkan menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam membangun hubungan yang bermakna, saling mendukung, dan diberkahi Allah SWT.


























