Monitorday.com – Ajaran Islam menegaskan bahwa harta kekayaan dan kemiskinan merupakan bentuk ujian serta takdir ilahi bagi setiap manusia. Konsep ini menekankan pentingnya pertanggungjawaban atas bagaimana seseorang memperoleh dan menggunakan nikmat yang diberikan Tuhan, dengan implikasi signifikan di akhirat.
Fokus utama terletak pada kehati-hatian dalam mencari rezeki dan membelanjakannya. Umat Muslim diimbau untuk senantiasa memperhatikan aspek halal dan haram, mengingat setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban spesifik di Hari Kiamat terkait aset duniawinya.
Merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW, “Tidaklah bergeser kaki seorang hamba (menuju batas shiratal mustaqim) sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, ilmunya untuk apa ia amalkan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia habiskan, dan badannya untuk apa ia gunakan.” (HR:Tirmidzi Ad-Darimi).
Hadis ini menyoroti bahwa setiap aspek kehidupan, termasuk harta, adalah amanah yang akan diperhitungkan. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memupuk rasa takut kepada Allah dan menjauhi sumber harta yang haram, meskipun dengan niat kebaikan, karena hal tersebut dapat berujung pada konsekuensi serius di akhirat.
Al-Qur’an juga mengingatkan dalam Surat At-Takaatsur ayat 7: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu.” (QS: At-Takaatsur [102]: 7).
Ayat tersebut, yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas ra dan Ibnu Jarir At Thabari, menegaskan bahwa tidak hanya harta, melainkan semua nikmat yang dianugerahkan akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam pandangan Islam, kekayaan dan kemiskinan adalah kehendak Allah untuk menguji kesabaran bagi yang kurang dan kerendahan hati serta kedermawanan bagi yang berlebih, mendorong setiap individu mencari “nilai” di hadapan Tuhan melalui perilaku yang shaleh dan bertanggung jawab.


























