Monitorday.com – Pandangan modernitas yang mengidentikkan akal dengan anti-Tuhan, seperti yang dikemukakan oleh Auguste Comte melalui logika positivisme-nya, menjadi sorotan perdebatan. Comte berargumen bahwa masyarakat yang masih meyakini Tuhan digolongkan sebagai manusia primitif, sementara kemajuan sejati dicapai oleh mereka yang meninggalkan keyakinan tersebut.
Namun, logika Comte dinilai tidak relevan dan tidak berlaku bagi umat Islam di manapun. Sayangnya, pemikiran ini masih diajarkan dalam materi sosiologi dan filsafat ilmu di lembaga pendidikan, yang berpotensi menyebabkan Muslim modern memiliki pandangan keliru mengenai arti kemajuan dan modernitas, kerap mengabaikan nilai-nilai spiritual demi materialisme.
Dunia hari ini cenderung mengukur kemajuan dari aspek material, seperti kepemilikan teknologi dan gaya hidup terbaru. Siklus produk baru yang tak henti-hentinya memicu iklan besar-besaran, secara tidak langsung mendorong pola pikir konsumtif di kalangan masyarakat, termasuk umat Islam. Fenomena ini bahkan dapat menyebabkan sebagian orang bekerja mati-matian demi memenuhi hasrat materialistis, terkadang mengorbankan hal-hal fundamental lainnya.
Dalam konteks ini, Islam menawarkan perspektif yang berbeda mengenai prioritas hidup. Al-Qur’an mengingatkan tentang hakikat kehidupan duniawi yang fana:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?.” (QS. Al Maidah [6]: 32).
Pola pikir yang keliru dalam mengejar dunia tanpa mempertimbangkan akhirat berpotensi menyebabkan kerugian bagi seorang Muslim. Padahal, Muslim seharusnya mencari akhirat tanpa melupakan dunia, serta mengidentifikasi takwa sebagai kecerdasan utama. Takwa diartikan sebagai kesungguhan dalam mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya, serta merupakan akumulasi dari iman yang teguh, ilmu yang mendalam, dan amal yang kuat.
Dengan demikian, manusia yang paling maju dan mulia bukanlah mereka yang menganut paham positivisme sekuler, melainkan Muslim yang memahami Al-Qur’an dengan baik sehingga mampu menjadi pribadi yang bertakwa. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al Anbiyaa’ [21]: 10). Pemahaman dan antusiasme terhadap Al-Qur’an menjadi kunci bagi Muslim untuk mencapai derajat kemuliaan sejati dan terhindar dari penyesalan di kemudian hari.


























