Connect with us

Hi, what are you looking for?

Hikmah

Qana’ah dan Syukur: Kunci Ketenangan Jiwa Hakiki

Qana’ah dan syukur adalah kunci kebahagiaan sejati, bukan harta. Raih ketenangan jiwa dengan menerima karunia Allah dan mensyukuri setiap nikmat-Nya, menjauhkan diri dari ambisi duniawi.

RuangSujud.com – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan duniawi yang kerap melenakan, kita sering dihadapkan pada tantangan yang menguji keimanan. Tatkala harga-harga merangkak naik dan kesempatan mencari nafkah terasa kian sempit, tak jarang keluh kesah terlontar, bahkan muncul godaan untuk menempuh jalan yang tidak halal demi sekadar bertahan hidup. Ironisnya, di sisi lain, ada segelintir manusia yang tanpa segan menumpuk harta dengan cara merugikan sesama, mengabaikan hak-hak yang semestinya merata demi kemaslahatan umat. Mereka mungkin beranggapan bahwa kekayaan materi adalah kunci kebahagiaan dan ketenangan abadi. Namun, benarkah demikian? Pertanyaan ini menuntun kita pada perenungan mendalam tentang makna sejati sebuah anugerah.

Sesungguhnya, ketenangan hati dan kebahagiaan hakiki tak pernah terikat pada seberapa banyak harta yang kita miliki. Berapa banyak orang yang bergelimang kekayaan namun jiwanya gersang, tak mampu merasakan nikmatnya tidur nyenyak atau damainya jiwa? Sebaliknya, tak sedikit pula hamba Allah yang hidup dalam kesederhanaan, namun hatinya diliputi rasa syukur dan ketenteraman. Inilah hakikat dari *qana’ah*, yaitu sikap merasa cukup dan ridha atas setiap karunia serta rezeki yang telah Allah SWT tetapkan. Sikap mulia ini membangkitkan energi positif, mengajarkan kita untuk menikmati hidup dalam segala keterbatasannya, dan meyakini firman-Nya: “Dan tidak ada makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan dijamin oleh Allah rizkinya.” (QS. Hud: 8).

Namun, bagi jiwa yang selalu merasa kurang dan tak pernah puas dengan apa yang telah diberikan, hidup akan terasa seperti perlombaan tak berujung. Hati yang diliputi ambisi duniawi dan perbandingan dengan apa yang dimiliki orang lain, cenderung mudah redup bahkan mati. Mereka rentan terhadap stres dan kegelisahan, sebab kebahagiaan seolah selalu bergantung pada pencapaian materi yang lebih tinggi dari orang lain. Ketidakpuasan ini mengikis kedamaian, membuat hati gundah, dan sulit menerima realitas, padahal Allah telah membagi rezeki secara adil untuk setiap hamba-Nya.

Untuk mengubah kegundahan menjadi keceriaan, Rasulullah SAW telah mengamanatkan sebuah panduan emas. Beliau bersabda: “Lihatlah orang yang lebih bawah daripada kamu, jangan melihat orang yang tinggi daripada kamu, karena dengan demikian kamu tidak akan lupa segala nikmat Allah kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Nasihat ini mengajarkan kita untuk senantiasa mengedepankan cara pandang positif, yakni selalu bersyukur atas karunia-Nya dan menjalani hidup dengan kesederhanaan. Dengan membuang jauh-jauh sifat tidak puas terhadap rezeki, kita akan menemukan bahwa apa yang kita miliki, sekecil apa pun itu, bisa menjadi bernilai dan layak disyukuri dibandingkan dengan mereka yang jauh di bawah kita.

Syukur yang sesungguhnya bukanlah sekadar ucapan lisan, melainkan sebuah pengakuan tulus dari hati yang tunduk dan pasrah kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan dalam Kitab al-Ghunyah, syukur melibatkan tiga dimensi: lisan yang mengakui nikmat berasal dari Allah, hati yang yakin sepenuhnya bahwa segala manfaat dan kelezatan datang dari-Nya, serta perbuatan yang menggunakan seluruh anggota badan untuk taat dan beribadah kepada-Nya. Ini berarti kita memanfaatkan setiap karunia Allah, baik itu kesehatan, waktu, maupun harta, untuk hal-hal yang diridai-Nya, bukan untuk menentang atau melalaikan perintah-Nya.

Dengan membiasakan diri untuk *qana’ah* dan *syukur* dalam setiap kondisi, jiwa kita akan terbebas dari belenggu ambisi duniawi dan nafsu yang tak terbatas. Hati pun menjadi lapang, jauh dari stres dan kegundahan. Sesungguhnya, Allah SWT menjanjikan kehidupan yang baik bagi hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh (QS. An-Nahl: 97). Ingatlah sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim). Mari kita jadikan rasa syukur sebagai kunci utama kebahagiaan, merayakan setiap anugerah dari-Nya, dan meraih ketenangan sejati yang tiada tara.

Robby Karman
Ditulis oleh

Penulis, Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan.

Klik untuk berkomentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel terkait

Hikmah

Era digital membawa kemajuan teknologi yang luar biasa, namun juga membawa tantangan baru bagi umat Islam dalam menjaga dan meningkatkan ketakwaan. Di tengah arus...

Kajian

Metode tafsir maudhu’i, juga dikenal sebagai metode tematik, adalah cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki maksud yang sama, membahas topik yang sama, dan menyusunnya...

Hikmah

Surat Al-Muzammil adalah salah satu surat dalam Al-Qur’an yang memiliki keutamaan dan hikmah yang mendalam. Dengan judul yang berarti “Orang yang Berselimut,” surat ini...

Hikmah

Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya relevan dalam konteks sejarahnya, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari yang dinamis dan beragam zaman modern. Ajaran-ajaran...